Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Susila

MAKALAH “AKHLAK  ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara sederhana budbahasa islami sanggup diartikan sebagai budbahasa yang menurut pedoman islam atau budbahasa yang bersifat islami. Kata Islam yang berada dibelakang kata budbahasa dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Akhlak Islami yaitu perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan bekerjsama yang didasarkan pada pedoman Islam.(hal 125)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu akhlak?
2.      Apa saja urgensi akhlak?
3.      Apa saja jenis – jenis akhlak?
4.      Bagaimana hubungan etika, moral, dan akhlak?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu akhlak
2.      Untuk mengetahui apa saja urgensi akhlak
3.      Untuk mengetahui apa saja jenis – jenis akhlak
4.      Untuk mengetahui bagaimana hubungan etika,moral, dan akhlak

BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Akhlak
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang diartikan secara linguistic diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laris atau tabiat, tata karma, sopan santun, budbahasa dan tindakan.Secara terminologi kata budbahasa sanggup diartikan sebagai sikap insan dalam segala aspek kehidupan. Adapun definisi budbahasa dari beberapa pendapat pakar ilmu akhlak, antara lain :
a)      Al-Qurthubi menyampaikan :
“Perbuatan yang bersumber dari diri insan yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, lantaran perbuatantersebut bersumber dari kejadiannya”.
b)      Imam al-Ghazali mendefinisikan budbahasa sebagai berikut :
“Akhlak yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan mudah tanpamemerlukan pemikiran ataupun pertimbangan”.
c)      Ibn Miskawaih juga mendefinisikan budbahasa sebagai berikut :
“Khuluq yaitu keadaan jiwa yang mendorong ke arah melaksanakan perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan”.
d)     Prof. Dr. Ahmad Amin, menyampaikan bahwa :
“Akhlak merupakan suatu kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”
e)      Muhammad Ibn ‘Ilan Al-Sadiqi menyampaikan :
“Akhlak adlah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang sanggup mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang.
f)       Abu Bakar Jabir al- Jaziri menyampaikan :
“Akhlak yaitu bentuk keji[1]waan yang tertanam dalam diri insan yang sanggup menyebabkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela”
Dari pakar dalam bidang akhlak  tersebut menyatakan bahwa budbahasa yaitu perangai yang menempel pada diri seseorang yang sanggup memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Pada dasarnya, maksud dari budbahasa yaitu mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya berafiliasi dengan sesame manusia. Inti dari pedoman budbahasa yaitu niat berpengaruh untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan ridha Allah SWT. Sumber budbahasa yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan dari kebijaksanaan pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral.
1.Jenis – jenis Akhlak
  Adapun pembagian budbahasa menurut sifatnya, yaitu :
A.Akhlak Mahmudah
Yang dimaksud dengan budbahasa terpuji yaitu segala macam sikap dan tingkah laris yang terpuji. Akhlak ini dilahirkan oleh sifat – sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa manusia. Adapun budbahasa terpuji sebagai berikut :
a.         Taubat yaitu suatu sikap yang meratapi perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya serta melaksanakan perbuatan baik.
Orang yang telah berbuat dosa wajib untuk segera bertobat,
sebagaimana firman Allah :
وَتُوبُواإِلَىاللَّهِجَمِيعًاأَيُّهَاالْمُؤْمِنُونَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ...

Artinya : “Dan bertobatlah kau sekalian kepada Allah wahai
orang-orang yang beriman supaya kau beruntung”. (QS. Al-Nur [24] : 31)
b.Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu perbuatan yang dilakukan kepada insan untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran sebagai implementasi perintah Allah.Allah telah berfirman yang artinya : “Dan hendaklah ada di antara kau segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran [3] : 104)
Syukur, yaitu berterima kasih kepada Allah tanpa batas dengan sungguh – sungguh atas segala nikmat dan karunianya dengan nrimo serta menaati apa yang diperintahkan-Nya. Seseorang yang selalu bersyukur , pasti Allah akan menambahkan kenikmatan-Nya.Sesuai dengan firman Allah SWT
فَاذْكُرُونِيأَذْكُرْكُمْوَاشْكُرُوالِيوَلَاتَكْفُرُونِ
Artinya : “Karena itu, ingatlah kau kepada-Ku pasti Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kau mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
d. Tawakkal, yaitu menyerahkan segala kasus kepada Allah sehabis berusaha. Apabila kita telah berusaha sekuat tenaga dan masih saja mengalami kegagalan maka hendaklah bersabar dan berdoa kepada Allah biar Dia membuka jalan keluarnya.Allah berfirman :
فَإِذَاعَزَمْتَفَتَوَكَّلْعَلَىاللَّهِإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُتَوَكِّلِنيَ
Artinya : “Kemudian apabila kau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. AliImran [3] : 159)
e.Sabar, yaitu suatu sikap yang betah atau sanggup menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi tidak berarti bahwa sabar itu pribadi mengalah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan tersebut. Maka sabar yang dimaksud yaitu sikap yang diawali dengan ikhtiar, kemudian diakhiri dengan ridha dan nrimo bila seseorang dilanda suatu cobaan.Sabar merupakan kunci segala macam persoalan.
Allah berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orangorang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah [2] : 153)
f.Qana’ah, yaitu mendapatkan dengan rela apa yang ada atau merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Qana’ah dalam pengertian yang luas bekerjsama mengandung lima perkara, yaitu :
a.       Menerima dengan rela apa yang ada.
b.      Memohon kepada Allah tambahan yang pantas, disertai dengan perjuangan dan ikhtiar.
c.       Menerima dengan sabar ketentuan Allah.
d.      Bertaqwa kepada Allah.
e.       Tidak tertarik oleh kebijaksanaan bulus dunia.
g. Tawadhu’,yaitu sikap merendahkan diri terhadap ketentuan Allah. Sikap tawadhu’ juga ditujukan kepada sesame insan dengan cara memelihara hubungan dan pergaulan tanpa merendahkan orang lain.
B.        Akhlak Mahmumah
Menurut Imam  Al-Ghazali, budbahasa yang tercela dikenal dengan sifat – sifat muhlikat, yakni segala tingkah laris insan yang sanggup membawa kepada kebinasaan dan kehancuran diri. Al-Ghazali juga menerangkan kebijaksanaan yang mendorong insan melaksanakan perbuatan tercela yaitu dunia dan isinya, manusia, setan, dan nafsu.
Pada dasarnya sifat perbuatan tercela dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Maksiat Lahir
Maksiat berasal dari bahasa Arab yaitu ma’siyah yang artinya pelanggaran oleh orang yang terpelajar baligh. Maksiat lahir, mencakup maksiat lisan, telinga, mata, dan tangan.
2) Maksiat Batin
Maksiat batin berasal dari dalam hati insan atau digerakkan oleh watak hati. Berikut rujukan penyakit batin (akhlak tercela) yaitu :
a.Takabbur, yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah, termasuk mengingkari nikmat Allah.Takabbur juga berarti merasa atau mengakui dirinya besar, tinggi, dan mulia melebihi orang lain.
b. Syirik, yaitu suatu sikap yang menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya, atau berarti kepercayan terhadap suatu benda yang memiliki kekuatan tertentu.
cNifaq, yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya. Pelaku nifaq disebut munafik, lantaran sifat nifaq inilah si pelaku akan melaksanakan perbuatan tercela, diantaranya berbohong, ingkar janji, khianat, dan lain – lain.
d. Iri hati atau dengki, yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan biar kenikmatan dan kebahagiaan orang lain sanggup hilang. Sifat ini sangat merugikan insan dalam beragama dan bermasyarakat lantaran sanggup menjerumuskan pada sifat rakus, egois, serakah atau tamak, suka mengancam, pendendam, dan sebagainya.
e. Marah, yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak sanggup ditahan oleh kesadarannya sehingga menonjolkan sikap dan sikap yang tidak menyenangkan orang lain.
Sedangkan pembagian budbahasa menurut obyeknya dibedakan menjadi dua, yaitu :
a)         Akhlak kepada Khalik
b)         Akhlak kepada Makhluk, yang dibagi lima yaitu, budbahasa kepada Rasulullah, budbahasa kepada keluarga, budbahasa kepada diri sendiri, budbahasa kepada sesama dan budbahasa kepada lingkungan.
3.         URGENSI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN
Aspek – aspek pedoman islam, baik aqidah, ibadah mu’amalah bagi setiap muslim ketiganya merupakan aspek – aspek yang bersifat taklifi (kewajiban) yang harus dilaksanakan. Sejarah membuktikan bahwa semua aspek pedoman tersebut tidak sanggup terealisasi tanpa adanya budbahasa yang baik.Dari sini sanggup dipahami bahwa budbahasa merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam.Akhlak yang mulia yaitu mengambarkan kematangan keyakinan serta merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir diutus oleh Allah untuk mengemban misi penyempurnaan budbahasa insan yang telah runtuh semenjak zaman para nabi yang terdahulu.Beliau bersabda :
ٳنَّمَابُعِثْتُلِأُتَمِّمَمَكَارِمَالْأَخْلاَقِرواهأحمدوالبيهقى “Aku diutus untuk menyempurnakan budbahasa manusia.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
            Pada dasarnya syariat yang dibawa para Rasul bermuara pada pembentukkan budbahasa mulia. Berbagai ritual diperintahkan Allah melalui para Nabi dan Rasul, ternyata banyak bermuara pada pembentukkan akhlak, menyerupai dalam perintah Shalat sebagai berikut :
 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) yaitu lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kau kerjakan.” (Q.S. Al-Ankabut:45)
Ayat tersebut secara terperinci menyatakan, bahwa muara dari ibadah Shalat yaitu terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar. Selanjutnya, budbahasa juga sanggup memilih beriman atau tidaknya seseorang,
“demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman. Para sahabat bertanya, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: orang yang tidak menyimpan diam-diam kejelekan tetangganya (H. R. Muslim).
Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa orang yang berakhlak buruk kepada tetangganya oleh Rasulullah dianggap tidak beriman. Sebaliknya orang yang paling dicintai oleh Rasulullah yaitu yang paling baik akhlaknya, “sesungguhnya orang yang paling saya cintai beliau yang paling erat tempat duduknya pada hari final zaman yaitu orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. At- Tirmidzi).
Ternyata orang mukmin yang tepat imannya bukan lantaran banyak ibadahnya, tetapi yang baik akhlaknya, “orang mukmin yang paling tepat imannya yaitu orang yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Abu Daud).
Demikian juga orang bertakwa dan berakhlak mulia dijamin masuk syurga,” penyebab utama masuknya insan ke syurga, lantaran bertakwa kepada Allah dan kemuliaan akhlaknya.” (H. R. Tirmidzi).
 Manusia memiliki kecendrungan untuk berbuat baik dan buruk. Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan budbahasa mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk. Pencerminan diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laris atau budbahasa yang ditunjukkan. Bahkan budbahasa merupakan komplemen diri bagi seseorang lantaran orang yang berakhlak kalau dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya.                    

4.         Hubungan Etika, Moral dan Susila dengan Akhlak
Dilihat dari fungsi dan perannya, sanggup dikatakan bahwa etika, moral, dan budbahasa sama, yaitu memilih aturan atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan insan untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, tenang dan tenteram sehingga sejahtera bathiniyah dan lahiriyahnya.
Perbedaan antara etika, moral dan susila dengan budbahasa yaitu terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk memilih baik dan buruk. Jika dalam etika, evaluasi baik dan buruk menurut pendapat kebijaksanaan pikiran dan pada moral dan susila menurut kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada budbahasa ukuran yang dipakai untuk memilih baik dan buruk itu yaitu Al-Quran dan Al-Hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan daerah pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laris insan secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan
Namun demikian etika, moral, susila dan budbahasa tetap saling berafiliasi dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas memperlihatkan dengan terperinci bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara budbahasa berasal dari wahyu, yakni ketentuan menurut petunjuk Al-Quran dan Hadits. Dengan kata lain kalau etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan budbahasa berasal dari Tuhan.
Kajian-kajian keislaman sudah memperlihatkan dengan terperinci bahwa keberadaan wahyu bersifat mutlak, otoriter dan tidak sanggup diubah. Dengan demikian budbahasa sifatnya juga mutlak, otoriter dan tidak sanggup diubah. Sementara etika, moral dan susila sifatnya terbatas dan sanggup diubah.
Dalam pelaksanaannya, norma budbahasa yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah itu sifatnya dalam keadaan “belum siap pakai”.Jika Al-Quran contohnya menyuruh kita berbuat baik kepada ibu-bapak, menghormati sesama kaum muslimin dan menyuruh menutup aurat, maka suruhan tersebut belum dibarengi dengan cara-cara, sarana, bentuk dan lainnya. Bagaimanakah cara menghormati kedua orang renta tidak kita jumpai dalam Al-quran dan Al-hadits. Demikian pula bagaimana cara kita menghormati sesama muslim dan menutup aurat juga tidak dijumpai dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Cara-cara untuk melaksanakan ketentuan budbahasa yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits itu memerlukan kebijaksanaan sehat atau ijtihad para ulama dari waktu-waktu. Cara menutup aurat, model pakaian, ukuran dan potongannya yang sesuai dengan ketentuan budbahasa terperinci memerlukan hasil pemikiran kebijaksanaan pikiran insan dan kesepakatan masyarakat untuk menggunakannya. Jika demikian adanya, maka ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam etika, moral dan susila yang merupakan produk kebijaksanaan pikiran dan budaya masyarakat sanggup dipakai sebagai alat untuk menjabarkan ketentuan budbahasa yang terdapat dalam Al-Quran. Tanpa sumbangan perjuangan insan dalam bentuk etika, moral dan susila, ketentuan budbahasa yang terdapat di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah akan sulit dilaksanakannya.
Dengan demikian keberadaan etika, moral dan susila sangat diharapkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan budbahasa yang terdapat dalam Al-Quran. Di sinilah letak peranan dari etika, moral dan susila terhadap akhlak. Pada sisi lain budbahasa juga berperan untuk memperlihatkan batas-batas umum dan universal, biar apa yang dijabarkan dalam etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak membawa insan menjadi sesat.
Dalam keadaan demikian pada pedoman budbahasa itu terdapat sisi-sisi yang otoriter dan universal yaitu ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran, dan terdapat sisi-sisi yang bersifat terbatas dan berlaku secara lokal, yaitu pada ketika ketentuan yang otoriter dan universal itu telah dijabarkan oleh etika, moral dan susila.
Namun demikian sanggup saja terjadi bahwa antara budbahasa dengan etika, moral dan susila memperlihatkan keadaan yang tidak sejalan. Hal ini sanggup terjadi pada masyarakat yang dalam berpikirnya bersifat liberal, ateis dan sekuler sebagaimana terjadi di Barat.
Banyak alasan atau dalil yang sanggup dipakai untuk memperlihatkan bahwa Islam sangat toleran dan akomodatif terhadap banyak sekali produk pemikiran dan budaya yang dihasilkan insan termasuk pemikiran dalam bidang akhlak. Pertama, di dalam Al-Quran  sbanyak ayat-ayat yang menyuruh insan biar memakai kebijaksanaan pikirannya guna memahami diam-diam kekuasaan Tuhan. Hasil kerja kebijaksanaan terhadap pemahaman diam-diam Tuhan itu mesti dihargai. Sebab kalau tidak, maka untuk apa Tuhan memerintahkan insan memakai kebijaksanaan pikirannya. Akal dipakai untuk acara membaca, menelaah, membandingkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan menyimpulkan banyak sekali fenomena alam dan sosial yang diamati, yang semuanya itu sebagai tanda kekuasaan Tuhan. Demikian pentingnya peranan kebijaksanaan dalam beragama sanggup kita pahami dari hadis Nabi yang berbunyi:
اَلدِّيْنُ هُوَالْعَقْلُ لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَـهُ
“Agama itu yaitu penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tidak berakal”
Apa yang dihasilkan kebijaksanaan pikiran terhadap agama itu sanggup berupa konsep, teori, rumusan dan pemikiran filsafat. Semua ini diterima sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan al-hadis. Apa yang dihasilkan kebijaksanaan pikiran ini yaitu yang dipakai dalam etika , lantaran etika sumbernya yaitu kebijaksanaan pikiran. Dengan demikian, diterimanya hasil pemikiran dalam islam,menunjukan bahwa etika diterima dalam budbahasa islam, sebagai sarana untuk menjabarkan pedoman budbahasa yang terdapat dalam wahyu.
Peranan kebijaksanaan pikiran sebagai penentu baik buruk yang dikembangkan dalam etika itu bekerjsama telah dikembangkan lebih jauh oleh kalangan teologi muktazilah. Menurut aliran ini bahwa kebijaksanaan insan sanggup mengetahui adanya tuhan, kewajiban
Mengetahui  tuhan, mengetahui baik dan jahat, dengan demikian bagi kalangan muktazilah, walaupun wahyu tidak diturunkan, seseorang tidak bebas berbuat sesukanya tanpa hukum, atau bebas melaksanakan apa saja. Seseorang harus tetap percaya kepada ilahi dan melaksanakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, lantaran ada akalnya. Apa yang dihasilkan berupa ketetapan kebijaksanaan harus dilaksanakan dengan baik. Dengan kata lain, Muktazilah mengakui adanya aturan akal, dan aturan kebijaksanaan ini dalam bentuk konkretnya yaitu pedoman etika.
Kedua, Di dalam kajian aturan islam, dijumpai adanya sumber aturan berupa abjad al-uruf yaitu kebiasaan atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Sumber aturan ini dipakai sepanjang tidak bertentang dengan Al-Qur’an dan al-Hadis. Adat yang demilian itulah yang dipakai sebagai salah satu ketetapan hukum, sesuai dengan kaidah yang menyampaikan al-adat muhakkamah, kebiasaan itu menjadi ketetapan. Menurut keterangan al-Qadi bahwa munculnya kaidah ihwal perlunya adat sebagai salah satu sumber aturan Islam yaitu lantaran adanya hadis Nabi yang isinya mengakui pendapat atau kesepakatan orang-orang islam. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi :
مَا رَا عٰى اْلـعُسْـلِمُوْ نَ خَيْرًافَهُوَ عِنْدَا للهِ خَـيْرٌ
“Sesuatu yang oleh orang orangislam dipandang baik maka yang demikian itu dalam pandangan Allah pun baik pula
Apa yang disebut adat istiadat ini bekerjsama yaitu materi yang dipakai sebagai titik tolak penentuan baik dan buruk dalam bidang moral sebagaimana dikemukakan. Dengan demikian, kita sanggup menyampaikan bahwa budbahasa islam mendapatkan atau mengakui adanya moral, budbahasa islam sanggup dijabarkan dan diaplikasikan dalam kehidupan[2]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kata “khuluqun”.Secara terminologi kata budbahasa sanggup diartikan sebagai sikap insan dalam segala aspek kehidupan.dan secara linguistic berarti Budi pekerti, Perangai, sikap, perilaku. Sedangkan jenis jenis budbahasa ada budbahasa terpuji dan tercela. Dan hubungan etika, moral dan budbahasa saling bersangkutan lantaran etika itu dari akal, moral dari pikiran dan budbahasa dari iman. Dan Akhlak itu penting untuk umat insan lantaran budbahasa merupakan pilar yang sangat penting dalam islam. Akhlak yang mulia yaitu mengambarkan kematangan keyakinan serta merupakan kunci kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
B.     SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan ihwal makalah ini dengan sumber sumber yang lebih banyak yang tentunya sanggup dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Natta,Abuddin . 2015 . Akhlak tasawuf dan karakter mulia . Depok : PT. Rajagrafindo persada.
Al-qaradhawi,Yusuf. . 1996 . Pengantar Kajian Islam. Penerj. Budi utomo, setiawan. Jakarta timur : Pustaka Al-Kautsar.
Amin,Masyhur. 1991. Bidang Studi Aqidah dan Akhlak. Yogyakarta : Kota Kembang.
As,Asmaran. 1994. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Marzuki. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta : Debut wahana press




[1] . Marzuki. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia, h 4.
[2] Natta,Abuddi  (Akhlak tasawuf dan karakter mulia . Depok 2005)h.80.