Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

#Bahagiadirumah Itu Berhasil Tetap Optimis


Tiga tahun lalu, risikonya saya menentukan untuk mendedikasikan diri sebagai Ibu Rumah Tangga. Meninggalkan pekerjaan saya sebagai pengajar di sebuah sekolah swasta. Sebuah keputusan yang tidak terlalu sulit dan sudah dipikirkan baik-baik serta terencana. Saya melaksanakan ini sempurna di kala kami harus pindah rumah. Menuju sebuah hunian mungil milik kami sendiri yang masih penuh ilalang dan kesunyian.

Sebelumnya suami saya menciptakan keputusan untuk mandiri, lepas dari perusahaan daerah ia mengembangkan karier. Sedang saya diniatkan membantunya, menangani usahanya. Menjadi asistennya, menangani pembukuan, bertindak sebagai manajer dan hal-hal lain yang sudah kami rencanakan dengan baik. Terutama saya.

Seharusnya begitu.

Sayang saya tidak sempurna melihat kondisi yang sebenarnya.

Kami tidak tinggal di tengah kota. Kami pindah ke pinggiran. Lebih akrab dengan lokasi yang sebelumnya hutan. Yang tergolong masih sepi. Tentu saja saya sudah menyadari lokasi ini sepi. Dan jauh dari sarana transportasi. Tapi, tidak duduk masalah pikir saya. Saat itu. Saya optimis saja.

Kenyataan meleset dari harapan.
Sebagai perintis perjuangan mandiri, saya menghadapi jatuh bangunnya karier suami. Mungkin tidak hampir sepuluh persen saja saya membantu usahanya. Selebihnya beliau harus bergulat sendirian. Saya terpaksa menikmati hari-hari yang sepi di rumah dengan lingkungan yang lengang, dengan tetangga sekitar yang jarang berada di rumah, tanpa pekerjaan dan belum hadirnya C’Mumut. Apalagi jikalau ditambah dengan ketiadaan suami di rumah, dimana beliau harus pergi ke luar kota demi mengais ilmu dan menggenapkan pundi-pundi keuangan keluarga. Maka, lengkap sudah kesendirian saya di rumah.
Pikiran untuk bekerja kembali seringkali terselip di benak. Tapi, lagi-lagi kondisi jalan masuk yang sukar dan jauh menciptakan saya menepiskan keinginan itu.

Tentu saja saya masih bisa menyenangkan diri dengan berjalan-jalan ke sentra kota, mendatangi event-event menarik, bahkan pergi ke luar kota untuk piknik. Sayangnya, saya tidak bisa melaksanakan hal itu sesering mungkin bukan? Pasti akan ada dana yang banyak terkuras sementara rumah masih gres dan butuh banyak sentuhan dan kami berlepas dari zona nyaman.

Jadi, saya menetapkan satu hal, bismillah: saya harus senang di rumah.

Yah, meskipun rasa nelangsa dan pahit getirnya mampir jua.

Saya butuh lebih banyak beraktivitas untuk membunuh rasa jemu demi menghindari kehampaan. Saya mulai lagi mengaplikasikan kegemaran saya. Yang namanya hobi memang sangat menyenangkan jikalau sanggup disalurkan ya. Dari dulu saya suka menulis, dalam notes kecil, dalam buku harian ‘dear diary’. Saya mulai lagi mengikuti event menulis. Tentu saja mengikutinya dari rumah. Tidak bisa menghadiri komunitas-komunitas yang saya inginkan secara rutin. Sebelumnya goresan pena saya pernah dimuat dalam bentuk buku antologi dan beberapa cerpen saya pernah dimuat. Ini menyenangkan, meski tidak sesering mungkin bisa saya wujudkan. Tapi, yang terutama saya bisa terus berguru dan meneruskan kegemaran ini. Dari mana kisah itu saya ambil? ya, lebih banyak dari kehidupan saya. Bahwa, ada yang bilang menulis ialah metode mengingat, saya sepakat. Bahwa menulis itu menyembuhkan, wah saya sangat sepakat.

Beberapa kali pula saya mengemas hari-hari saya dengan mengulik minat yang pernah saya miliki. Pernah, alasannya bekerja saya jadi kurang ada waktu mengembangkan hobi. Saya suka mencoba mengutak-atik sisa-sisa barang. Mengubah yang tidak bermakna menjadi indah dipandang dan bermanfaat. Setidaknya bagi saya yang yah kesulitan untuk pergi kian-kemari mencari pernak-pernik padahal ingin sekali mempercantik rumah.

Hal-hal yang begitu saja masih sering menciptakan saya kesepian. Mau mendatangkan teman, apa daya saya tidak tega meminta mampir sementara rumah masih terbengkalai, jauh pula. Yang bisa saya lakukan ialah menyapa mereka via handphone. Kedengarannya menyedihkan ya, tapi begitulah kenyataannya.Saya tetap insan biasa kok, yang membutuhkan kawan.

Interaksi dengan sekitar perlahan menjadi nyaman, walau masing-masing insan ini tetap lebih banyak sibuk di luar sana daripada meramaikan perumahan disini.

Saya pun mulai menemukan keasyikan mengajar. Ya, saya tidak mengajar di sebuah sekolah. Saya mengajar di rumah. Beberapa tetangga meminta saya mengajari anaknya. Saya membuka les kecil-kecilan dengan mengadopsi lebih banyak permainan yang edukatif. Proses mengajar yang tanpa mengambil imbalan sama sekali. Ini semua alasannya saya berpikir bahwa apa yang saya lakukan selama ini tampaknya tidak akan berarti jikalau hanya untuk menyenangkan diri sendiri, sayang sekali. Bila saja saya membuatkan dengan yang lain. Anak-anak yang tiba pun ialah bawah umur yang kurang bisa secara ekonomi. Sama, saya juga apa adanya. Bukan golongan kelas atas.
Selain mau mendaur ulang semoga tidak repot membeli barang, saya pun menanam sendiri apa yang saya makan. Ya, flora kebutuhan kami, begitulah. Padahal saya sama sekali tidak punya ilmu berkebun.
 risikonya saya menentukan untuk mendedikasikan diri sebagai Ibu Rumah Tangga #BAHAGIADIRUMAH ITU BERHASIL TETAP OPTIMIS
Bersama bawah umur tetangga, bermain dan belajar
Lama-kelamaan saya menghargai waktu saya di rumah. Dan saya pun menghargai mereka yang menentukan dan mendedikasikan berkarya dari rumah. Entah dibalik alasan apa pun. Menjadi ibu rumah tangga itu berat. Ya, ya saya betul-betul merasakannya kini. Bahkan jikalau saya berkesempatan menghadiri seminar atau workshop, saya selalu menuliskan profesi saya sebagai ibu rumah tangga. Tanpa aksesori masa silam. Dan selalu saja timbul pertanyaan, ibu rumah tangga kok ikut workshop A,B,C. Kan cuma di rumah aja? Hehe, belum tahu saja dia, ibu rumah tangga itu profesi yang seabrek-abrek.

Saya juga senang risikonya bisa memahirkan jemari lagi lewat menggambar dan bermain aplikasi grafis, yang dulunya saya pikir ah, hanya untuk anak muda. Saya ini sudahlah, sudah lewat waktunya. Dan tanpa terasa, saya bisa menciptakan banner atau spanduk bagi mereka yang memerlukan. Tentu saja masih banyak PR, tapi sekali lagi ini ialah tahapan yang baik. Saya mengasihi proses belajarnya.

Hal paling tidak kuasa ingin saya sebut ialah saya senang mempunyai waktu santai, rileks sambil membaca buku. Ini jalan menuju dunia saya yang sepi. Rasanya plong luar biasa ketika membaca buku. Dengan membaca hidup saya tidak berasa suram, saya masih bisa meraih ilmu. Dengan membaca pula saya bisa menunjukkan banyak masukan kepada suami mengenai usahaya. Bagaimana bisnis bisa berjalan baik. Saya tidak arif berdagang, saya lebih senang berada di balik layar.
Banyak hal positif sanggup dilakukan di rumah. Mulai dari mendesain, mengolah sampah, menulis, menggambar, sampai memasak dan berkebun
Karena peluang waktu berpikir juga lebih banyak maka saya bisa berkomunikasi dengan suami terkait dengan jatuh bangunnya perjuangan beliau termasuk mendoakannya. Dan Alhamdulillah, ini berhasil sekali.
Komunikasi yang baik memang menunjang, sembari menyuguhkan resep-resep masakan favorit yang saya sanggup dari Tabloid Nova. Dan alasannya ini momen #Novaversary, ulang tahun yang ke 28 saya ingin mengucapkan terimakasih atas artikel-artikelnya yang menawan. 28 tahun tentu bukan usia sebentar. Ini usia kematangan berpikir seseorang. Terimakasih NOVAVERSARY yang telah menemani saya yang sendiri ini, hehehe. Membaca Tabloid Nova bagai melihat dunia di luar sana, dikemas apik dalam sajian kata menarik. Saya merasa tidak buta-tuli perihal situasi yang menjadi demam isu dan keramaian. Rubrik kariernya menciptakan saya berpikir lebih matang dan ada kalanya juga menunjukkan masukan positif dalam diskusi saya bersama suami.

Sekarang saya mempunyai blog, wadah berguru dan membuatkan untuk saya. Dan ini tips saya untuk tetap senang di rumah:
  • Melakukan acara yang menyenangkan dan menggairahkan. Pilih hobi yang tepat
  • Tetap meraih ilmu meskipun hanya dari rumah.
  • Hidup hanyalah sekali, selau yakin hidup ini bermanfaat.
  • Senantiasa bersyukur
  • Mencari kawan, sahabat atau komunitas yang bisa mendukung
  • Senantiasa berbagi
  • Bersyukur
  • Menghargai waktu yang ada
  • Tetap optimis
Tahun berganti tahun, sekarang perjuangan berdikari yang kami rintis banyak membuahkan hasil. Setidaknya kami tercukupi dan menjadi berkah bagi kehidupan keluarga kami yang mungil ini.
Saya selalu bersyukur ketika berada di rumah. Dengan bersyukur saya tetap senang di rumah. Kalau pun saya bekerja kembali lagi suatu waktu, tentu saya tetap optimis saya senang di rumah. Rumah selalu menjadi daerah dirindukan tuk kembali bukan?
Salam,
@lidhamaul

___________
Tulisan ini diikutkan dalam BLOG COMPETITION #28Novaversary #BahagiadiRumah