Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Filsafat Aturan Islam


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hukum Islam mengacu pada pandangan aturan yang menyampaikan bahwa aturan Islam itu diciptakan lantaran ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari adanya aturan Islam yaitu terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat.Jadi aturan Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di darul abadi kelak.Inilah yang membedakannya dengan aturan insan yang menghendaki   kedamaian di dunia saja.
Dengan adanya Filsafat Hukum Islam, sanggup dibuktikan bahwa aturan Islam bisa memperlihatkan tanggapan terhadap tantangan zaman dan merupakan aturan terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam. Syariat Islam sebagai sumber aturan Islam merupakan sebuah kaidah tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat insan pada umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah pribadi dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, insan baik disadari maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain lantaran syariat Islam sebagai “hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh insan yang kemampuannya terbatas, sehingga untuk sanggup mengaplikasikannya maka diharapkan penafsiran-penafsiran yang tepat dan sesuai.
Ijtihad merupakan kunci untuk menuntaskan problem yang dihadapi oleh umat Islam kini dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman. Ijtihad muncul disebabkan lantaran adanya masalah-masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya secara khusus.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian, Objek Kajian Dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum Islam?
2.      Apa Pengertian Syariah, Fiqih Dan Hukum Islam?
3.      Bagaimana Pertumbuhan Dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam?
4.      Apa Saja Sifat Dan Karakteristik Hukum Islam?
5.      Apa Prinsip-Prinsip Hukum Islam?
6.      Bagaimana Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam?
7.      Bagaimana Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam?
8.      Bagaimana Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam?
9.      Apa Tujuan Hukum Dalam Islam?
10.  Bagaimana Hubungan Maqosyid Syariah Dengan Metode Ijtihad?
11.  Bagaimana Muqhoshid Dalam Bisnis Dan Ekonomi Islam?
12.  Bagaimana Ijtihad Dalam Ekonomi Islam Dan Contohnya?
13.  Bagaimana Fatwa-Fatwa Dalam Ekonomi Islam?
14.  Bagaiamana Fatwa-Fatwa Syariah Nasional Dalam Bidang Ekonomi Islam Dan Contohnya?

BAB II

PEMBAHASAN


A.     Pengertian, Objek Kajian dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum Islam
1.      Pengertian Filsafat Hukum Islam
Untuk membantu mempermudah kita dalam menkaji filsafat aturan Islam, maka kita harus mengetahu secara definitif tiga komponen yang menjadi kata dasar dari filsafat aturan Islam. Tiga komponen tersebut yaitu Filsafat, Hukum, dan Islam.
Filsafat atau falsafah berasal dari perkataan Yunani philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (philien = cinta, dan sophia = hikmah, kebijaksanaan). Ada yang menyampaikan bahwa falsafah itu berasal dari philos (keinginan) dan sophia (hikmah). Dan ada pula yang menyampaikan berasal dari philos (mengutamakan, lebih suka) dan sophia (hikmah, kebijaksanaan). Kaprikornus kata filsafat berarti cinta, ingin, mengutamakan dan lebih suka kepada pesan tersirat atau kebijaksanaan. Orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Hukum berasal dari bahasa Arab (الحكم) yang secara etimologi berarti “memustuskan, memutuskan dan menyelesaikan”. Kata aturan dan kata lain yang berakar dari kata itu terdapat dalam 88 tempat di dalam Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Selanjutnya kata aturan juga sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
Muslehuddin mendefinisikan aturan sebagai “kumpulan peraturan, baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang mana sebuah Negara atau masyarakat mengaku terikat dengan sebagai anggota dan subjeknya”.
Islam (al-Islām, الإسلام) mempunyai arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya. Sebagai ajaran, Islam yaitu agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Pengikut aliran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya yaitu Muslimin bagi pria dan Muslimah bagi perempuan.[1]

2.      Objek kajian dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum Islam
Tujuan dari adanya aturan Islam yaitu terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan dari aturan Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifa rahman dan rahim (maha pengasih dan maha penyayang) allah kepada semua makhluk-nya. Rahmatan lil-alamin yaitu inti syariah atau aturan Islam. Dengan adanya syariah tersebut sanggup ditegakkan perdamaian di muka  bumi  dengan pengaturan masyarakat yang memperlihatkan keadilan kepada semua orang.[2]
Para jago ushul fiqh, sebagaimana jago filsafat aturan Islam, membagi filsafat nhukum Islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat syari’ah.[3]
a.       Falsafat tasyri’: filsafat yang memancarkan aturan Islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan aturan Islam. Filsafat tasyri’ terbagi kepada:
1)      Da’aim al-ahkam (dasar-dasar aturan Islam)
2)      Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip aturan Islam)
3)      Ushul al-ahkam (pokok-pokok aturan Islam) atau mashadir al-ahkam (sumber-sumber aturan Islam)
4)      Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan aturan Islam)
5)      Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah aturan Islam)
b.      Falsafat syari’ah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi aturan Islam menyerupai ibadah, muamalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas untuk membicarakan hakikat dan diam-diam aturan Islam. Termasuk dalam pembagian falsafat syari’ah adalah:
1)      Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia aturan Islam)
2)      Khasha’is al-ahkam (cirri-ciri khas aturan Islam)
3)      Mahasin al-ahkam (keutamaan-keutamaan aturan Islam)
4)      Thawabi’ al-ahkam (karakteristik aturan Islam)
Menurut Juhaya S. Praja dalam bukunya menyampaikan bahwa objek filsafat aturan Islam meliputi objek teoritis dan objek praktis. Objek teoritis filsafat aturan Islam yaitu objek kajian yang merupakan teori-teori aturan Islam yang meliputi:[4]
1)      Prinsip-prinsip aturan Islam
2)      Dasar-dasar dan sumber-sumber aturan Islam
3)      Tujuan aturan Islam
4)      Asas-asas aturan Islam, dan
5)      Kaidah-kaidah aturan Islam
Objek filsafat aturan Islam teoritis ini seringkali disebut objek falsafat al-tasyri’. Sementara objek simpel filsafat aturan Islam atau objek falsafat al-syari’ah atau asra’r al-syari’ah meliputi tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan, seperti:
1)      Mengapa insan melaksanakan mu’amalah; dan mengapa insan harus diatur oleh aturan Islam?
2)      Mengapa insan harus melaksanakan ibadah, menyerupai shalat?
3)      Apa diam-diam atau pesan tersirat yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji, dan sebagainya.

B.     Pengertian Syari’ah, Fikih dan Hukum Islam
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Menurut para ahli, syariah secara terminologi yaitu “segala titah Allah yang bekerjasama dengan tingkah laris insan diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu yaitu nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu yaitu aturan amaliah yang berbeda berdasarkan perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan kasus kepada mahkamah dan tidak meliputi kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu yaitu apa-apa yang ditetapkan Allah melalui ekspresi Nabi-Nya. Allah yaitu pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.[5]
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal.[6] Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan potongan dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan perihal hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan insan yang telah remaja dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan berdasarkan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin menyampaikan fiqh yaitu ilmu perihal hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.[7]
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “Islam”. Secara terpisah aturan sanggup diartikan sebagai seperangkat perturan perihal tingkah laris insan yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “Islam”, maka aturan Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul perihal tingkah laris insan mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama  Islam.[8]
Bila artian sederhana perihal aturan Islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh, maka sanggup dikatakan bahwa yang dimaksud aturan Islam itu yaitu yang berjulukan fiqh dalam literatur Islam yang berbahasa arab.

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Filsafat aturan Islam telah lahir semenjak masa Rasulullah saw. Hal ini disebabkan filsafat aturan islam itu sendiri diidentikkan dengan ijtihad seseorang dalam memutuskan sebuah aturan yang dilandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. Kemunculan filsafat ini diawali ketika Rasulullah mengizinkan Mu’az bin Jabal untuk berijtihad sesuai dengan sabdanya:
“Diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. ketika berkeinginan untuk mengutus Mu’az ke Yaman, Beliau bertanya: ”Apabila dihadapkan padamu suatu masalah hukum, bagaimanakah cara anda memutuskannya?” Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskannya berdasarkan Al-Qur’an”. Nabi bertanya lagi: “Jika Kasus tersebut tidak anda temukan di dalam Al-Qur’an?” Mu’az menjawab : “Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah” Nabi bertanya lagi: “Jika masalah tersebut tidak terdapat di dalam Sunnah dan Al-Qur’an?” Mu’az menjawab: “Aku akan berijtihad dengan seksama”. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memperlihatkan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhai-Nya”. (HR. Abu Daud).[9]
Setelah Nabi saw wafat, pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh para sahabat terutama oleh Umar bin Khattab yaitu dengan menghapuskan aturan potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dan lain-lain yang diadaptasi dengan keadaan umat pada masa itu.
Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap aturan Islam telah banyak dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melaksanakan kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.
Kegiatan filsafat aturan Islam ini terus berlanjut oleh generasi berikutnya. Al-Juwaini yang dikenal sebagai ulama ushul fiqh generasi awal menekankan pentingnya memahami maqashid al-syariah (tujuan hukum) dalam memutuskan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan bisa memutuskan aturan dalam Islam sebelum ia sanggup memahami dengan benar tujuan Allah memutuskan perintah-perintah dan larangan-larangannya. Kemudian ia mengaitkan tujuan aturan tersebut dalam kaitannya pada pembahasan ‘illah dalam masalah qiyas. Menurut pendapatnya, dalam kaitan dengan ‘illah, ashl sanggup dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyat, hajiyyat, dan makramat.
Kerangka berpikir al-Juwaini diatas dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali. Dalam kitabnya Syifa’ al-Ghalil, Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-mashlahiyat dalam qiyas. Sementara dalam kitabnya yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan istishlah. Menurut al-Ghazali, mashlahat yaitu memelihara maksud al-Syar’i (pembuat hukum). Kemudian ia memerinci mashlahat itu menjadi lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pada era sekarang, kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam aturan Islam ini telah dinaungi dalam sebuah organisasi keislaman yang bertugas mencari ketetapan aturan terhadap masalah-masalah gres yang terdapat di dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan oleh organisisai Islam yang disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas memperlihatkan jawaban-jawaban atas permasalahan gres yang muncul di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam memutuskan hukum, MUI memakai suatu istilah yang disebut dengan fatwa, yaitu keputusan atau ketetapan aturan gres terhadap permasalahan yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab aturan Islam terdahulu semoga terpeliharanya keamanan dan kesejahteraan umat Islam di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia yaitu wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan keinginan bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang tiba dari banyak sekali penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dalam khitah dedikasi Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan limafungsi dan kiprah utama MUI yaitu:
-          Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
-          Sebagai pemberi fatwa (mufti)
-          Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
-          Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
-          Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Sampai ketika ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Dalam menegakkan aturan Islam di Indonesia, MUI memakai mufti untuk memperlihatkan fatwa. Adapun pola fatwa yang diberikan MUI sebagai proses ijtihad dalam aturan Islam yaitu: fatwa MUI perihal bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya. Hal ini disebabkan lantaran pada zaman Nabi saw forum pengatur keuangan sdengan sistem ekonomi menyerupai bank belum ada. Berdasarkan Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, empat landasan dasar dalam pengambilan aturan Islam di Indonesia, MUI memutuskan bergotong-royong Praktek pembungaan uang ketika ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya yaitu haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Proses pengambilan aturan yang dilakukan oleh MUI pada masalah diatas yaitu proses dari berfilsafat dalam aturan Islam lantaran masalah tersebut belum terdapat pada masa Nabi saw.[10]

D.    Sifat dan Karakteristik Hukum Islam
1.      Pertama, sempurna. Artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia, dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan pada bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahan, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan aturan yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan kebabasan kepada umat insan untuk melaksanakan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[11]
2.      Kedua, Universal. Syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan bahasa. Universal ini pula tergambar dari sifat aturan Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja, tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi usang atau pun modern, menyerupai halnya ia sanggup melayani para ahli aql dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadits.[12]
3.      Ketiga, elastis, dinamis, dan fleksibel, dan tidak kaku. Karena aturan Islam merupakan syariat yang universal dan sempurna, maka tak sanggup dipungkiri pula kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis dalam perkembangan zaman, lantaran kalau aturan Islam menjadi sesuatu yang kaku jutsru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang tertentu. Dengan ini pula sanggup dilihat bahwa aturan Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang sanggup membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijitihad yang menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan dan bersifat aktif, produktif serta konstruktif.[13]
4.      Keempat, sistematis. Artinya antara satu dogma dengan dogma yang lain bertautan, bertalian dan bekerjasama satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu, syariat Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[14]
5.      Kelima, bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna Syari’at Islam sanggup dibedakan dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan insan kepada Allah (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ). Bentuk ibadah menyerupai ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung didalamnya tidak sanggup dinalar, irrasional, menyerupai jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya sanggup difahami oleh logika manusia, rasional.
6.      Keenam, menegakkan Maslahat. Karena seluruh aturan itu harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari seluruh aturan Islam harus bersimpul pada maslahat.[15]
7.      Ketujuh, menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub), persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif), serta keadilan Allah yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada insan sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.
8.      Kedelapan, tidak Menyulitkan (‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak menyulitkan yaitu aturan Islam itu tidak sempit, sesak tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu ada beberapa bentuk:
-          Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan menyerupai gugurnya kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
-          Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’.
-          Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, menyerupai wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum., atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
-          Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir menyerupai shalat jama takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat Magrib.
-          Menangguhkan atau mentakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada menyerupai shalat jama takhir. mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
-          Mengubah dengan bentuk lain, menyerupai merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf lantaran alasan keamanan. atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak besar lengan berkuasa lagi puasa dengan membayar fidyah.
-          Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
9.      Kesembilan, berangsur-angsur atau tadrij. Hukum Islam dibuat secara gradual tidak sekaligus. Diantara aturan Islam yang diturunkan secara gradual yaitu shalat, pertama hanya dua waktu (Hud : 114)[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.

E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.

Kedudukan Al-Qur’an dalam islam yaitu sebagai sumber aturan umat islam. dari segala sumber aturan yang ada dibumi. sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 59:





Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian kalau kau berlainan pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), kalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)

Dari ayat tersebut terperinci bahwa  kedudukan Al-Quran yaitu sebagai sumber aturan islam yang paling utama yang sanggup dijadikan pedoman hidup dan petunjuk bagi umat manusia. Yang tidak ada keraguan sedikitpun padanya. Dan apabila orang tersebut berpegang teguh kepada Al-Qur’an, maka tidak akan tersesat selama-lamanya.[17]
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,  garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1.      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang bekerjasama dengan kepercayaan dan kepercayaan
2.      Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang bekerjasama dengan tingkah laku, budi pekerti.
3.      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna potongan yang  pertama, amaliyah yang  kadang-kadang disebut juga syari’at yaitu potongan hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut aturan Islam.[18]

G.    Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Menurut istilah Ushul-Fiqh, Sunnah Rasulullah, menyerupai dikemukakan oleh Muhammda ‘Ajjaj al-Khatib, berarti “segala sikap Rasulullah yang bekerjasama dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qauliyah), perbuatan (Sunnah fii’liyah), atau pengesahan (Sunnah taqririyah).
Sunnah (سنة ˈsunnah, plural سنن sunan) yaitu kata Arab yang berarti "kebiasaan" atau "biasa dilakukan" sanggup pula diartikan "arus yang lancar dan mudah" serta pula "jalur aliran langsung" dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis usaha (tradisi) yang dilaksanakan oleh Rasulullah.
Sebagian besar ulama setuju menyampaikan bahwa Sunnah Rasulullah dengan beberapa jenisnya (qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah) merupakan sumber hokum Islam yang kedua dibawah Al-Qur’an. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan kehujahan Sunnah, antara lain sebagai berikut :[19]
1.      Al- Qur’an surah Ali Imran (3) ayat 31 :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Jika kau (benar-benar) menyayangi Allah, ikutilah aku, pasti Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
2.      Al-Qur’an surah Al-ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari simpulan zaman dan beliau banyak menyebut Allah.”
Dapat dikatakan juga fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an memang kiranya sebagai bayan, dan dalam buku karya Suyatno yang berjudul “dasar-dasar ilmu fiqh dan ushul fiqh” dikatakan sebagai berikut :
1.      Bayan ta’kid yakni, Sunnah menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut didalam Al-Qur’an. Sunnah hanya mengulang apa yang telah dinyatakan didalam Al-Qur’an
2.      Bayan Tafsir yakni, Sunnah sebagai penjelas terhadap hukum-hukum dalam Al-Qur’an
3.      Bayan tasyri’ yakni, Sunnah memutuskan Hukum yang belum ditetapkan didalam Al-Qur’an


Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad merupakan sumber aturan Islam ketiga setelah Al Alquran dan Hadis. Ijtihad dilakukan kalau suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Alquran maupun hadis, tetapi tidak ditemukan hukumnya.
Namun, hasil ijtihad tetap dilarang bertentangan dengan Al Alquran maupun hadis. Orang yang melaksanakan ijtihad (mujtahid) dengan benar, beliau akan mendapat dua pahala. Adapun kalau ijtihadnya slalah, beliau tetap mendapat satu pahala.
Ijtihad dilakukan kalau ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al Alquran maupun hadis. Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orng-orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.
Orang yang berijtihad harus mempunyai syarat sebagai berikut :
-          Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam;
-          Memiliki pemahamaan mendalam perihal bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah);
-          Harus mengenal cara meng-istimbat-kan (perumusan) aturan dan melaksanakan qiyas;
-          Memiliki akhlaqul qarimah.
Bentuk ijtihad sanggup dikelompokkan menjadi tida macam, yaitu sebagai berikut.
-          Ijma’: yaitu  kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu kasus atau hukum. Ijama dilakukan untuk merumuskan suatu aturan yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al Alquran dan Sunah.
-          Qiyas : mempersamakan aturan suatu maslah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan maslah usang yang pernah lantaran ada alasan yang sama.
-          Maslahah Mursalah: merupakan cara dalam memutuskan aturan yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Dilihat dari prosesnya, ijtihad sanggup dibagai menjadi dua. Pertama, ijtihad insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk menyimpulkan aturan mengenai kejadian gres yang belum pernah diselesaikan oleh hujtahid sebelumnya.
Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menentukan pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai masalah tertentu. Kemudian, menuntaskan pendapat mana yang mempunyai dalil lebih besar lengan berkuasa serta relevan dengan kondisi ketika ini.[20]

I.       Tujuan Hukum Dalam Islam
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan aturan Islam, yaitu memelihara :
-          Agama, merupakan tujuan  pertama aturan Islam, lantaran agama merupakan pedoman hidup manusia.
-          Jiwa, merupakan tujuan kedua aturan Islam, lantaran aturan Islam wajib memelihara hak insan untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
-          Akal, sangat dipentingkan oleh aturan Islam, lantaran dengan mempergunakan akalnya, insan akan sanggup berfikir perihal Allah, alam semesta, dan dirinya sendiri.
-          Keturunan, semoga kemurnian darah sanggup dijaga dan kelanjutan ummat insan sanggup diteruskan.
-          Harta, yaitu dukungan Tuhan kepada manusia, semoga insan sanggup mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya.
Kelima tujuan aturan Islam itu disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari'ah (tujuan-tujuan aturan Islam).

J.      Hubungan Maqosyid Syariah Dengan Metode Ijtihad
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan utama disyariatkannya aturan yaitu untuk memelihara kemaslahatan sekaligus menghindarkan kemafsadatan, baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam masalah hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Quran dan hadits maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan tersebut.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqashid asy-syari’ah tidak sanggup dipisahkan. Ijtihad pada pada dasarnya yaitu upaya penggalian aturan syara’ secara optimal. Upaya penggalian aturan syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid sanggup memahami maqashid asy-syari’ah [21]. Oleh karenanya pengetahuan tentang maqashid asy-syari’ah adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber aturan Islam ataukah sebagai metode penetapan aturan Islam, maka ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad yaitu sumber aturan Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad yaitu metode penetapan aturan Islam, lantaran hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, gres dipakai ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad yaitu merupakan kegiatan yang tidak mudah, lantaran memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya aturan Islam (maqashid asy-syari’ah).

K.    Muqhoshid Dalam Bisnis dan Ekonomi Islam
Dalam sejarah pemikiran ilmu aturan Islam klasik istilah dan konsep maqashid syariah sudah banyak menjadi pembahasan para ulama. Menurut Ahmad Raysuni tokoh terpenting dalam maqashid syariah yaitu Imam al-Syathibi (w. 790 H), namun al-Syathibi bukan ulama pertama yang memperkenalkan konsep maqashid syariah. Ia menyampaikan istilah maqashid syariah pertama kali dipakai oleh al-Turmudzi al-Hakim, seorang ulama yang hidup di awal kurun ke 4 dalam buku yang ditulisnya yaitu al-Salah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-Illah, Ilal al-Syariah dan juga al-Furuqyang diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi buku karangannya.[22]
Maqashid al-syariah menduduki posisi sangat penting dalam merumuskan aturan Islam, termasuk di dalamnya yaitu aturan ekonomi Islam. Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariah-nya. Tanpa maqashid syariah, fiqh muamalah yang dikembangkan, regulasi perbankan dan keuangan akan kaku dan statis, sehingga produk keuangan syariah sulit berkembang terlebih mengalahkan produk-produk forum keuangan konvensional.
Para ulama ushul fiqh setuju bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab banyak sekali problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diharapkan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk membuat produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diharapkan dalam membuat regulasi perbankan dan forum keuangan syariah.
Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fiqh al-Islam al-muqarin ma’a al-mazahib menyampaikan bahwa pengetahuan perihal maqashid syariah merupakan pengetahuan yang utama dan mempunyai proyeksi masa depan dalam rangka pengembangan teori ushul fiqh, lantaran itu maqashid syariah menurutnya merupakan   ilmu yang berdiri sendiri.
Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang sanggup berperan ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy) untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid syariah sanggup memperlihatkan dimensi filosofis dan rasional terhadap produk-produk aturan ekonomi Islam yang dilahirkan dalam acara ijtihad ekonomi syariah kontemporer. Maqashid syaiah akan memperlihatkan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam memandang akad-akad dan produk-produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan maqashid syariah-lah produk perbankan dan keuangan syariah sanggup berkembang dengan baik dan sanggup meresponi kemajuan bisnis yang terus berubah dengan cepat.
Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak masalah yang muncul, menyerupai hedging (swap, forward, options), Margin During Contruction (MDC), profit equalization reserve (PER), trade finance dan segala problematikanya, puluhan masalah hybrid contracts, instrument money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank syariah atau dgn konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah maushufash fiz zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, overseas financing, skim KTA, pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik dan hak tanggungan, maqashid dari anuitas, tawarruq, net revenue sharing, cicilan emas, investasi emas, serta sejumlah kasus-kasus gres yang terus bermunculan. Semua masalah dan upaya ijtihad terhadap kompleksitas ekonomi dan keuangan syariah masa kini yang terus berubah dan berkembang, memerlukan analisis berdimensi filosofis dan rasional dan subtantif yang terkandung dalam konsep maqashid syariah. Berdasarkan urgensi maqashid syariah yang demikian besar, maka Iqtishad Consulting bermaksud menggelar Workshop Eksekutif Aplikasi Maqashid Syariah pada Ekonomi, Keuangan, Produk Perbankan, dan Regulasi Perbankan dan Keuangan Syariah.
Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa maqashid syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu keliru dalam memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis, karenanya forum perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat berkembang. Tanpa pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator mudah menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan mudah menolak produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid syariah maka regulasi dan ketentuan perihal PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami kesalahan fatal.
Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman (shilihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan membuat bank syariah dan Lomba Kompetensi Siswa semakin cepat berkembang dan kreatif membuat produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.[23]

L.     Ijtihad Dalam Ekonomi Islam dan Contohnya
Dalam melaksanakan ijtihad seorang mujtahid harus menguasai maqashid syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Buku Ilmu Ushul Fiqh menyebut dengan tegas bahwa nash-nash syariah tidak sanggup dipahami secara tepat dn benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid syariah dan asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat). Keberhasilan penggalian aturan ekonomi Islam dari dalil-dalil Al-Quran dan hadits sangat ditentukan oleh pengetahuan perihal maqashid al-syariah yang sanggup ditelaah dari dalil-dalil tafshili (al-quran dan sunnah)
1.      Praktek Maslahah (maqashid syariah) pada masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW praktek maslahah sangat banyak diterapkan, ketika dalam masalah larangan penyimpanan daging kurban, larangan tas’ir (intervensi harga), talaqqi rukban, larangan menyewakan tanah, larangan dan kebolehan muzara’ah, dsb. Praktik ini mengambarkan aspek maslahah dan illat menjadi pertimbangan penetapan hukum.  
2.      Penerapan Maqashid al-Syariah di Masa Khulafaur Rasyidin
Penerapan maqashid syariah ini berlanjut semakin intens di masa sahabat dan sesudahnya. Wilayah Islam semakin luas dan penganut muslim semakin banyak. Para sahabat harus menghadapi persoalan-persoalan gres dan perubahan sosial yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
a.       Kebijakan Abu Bakar Memerangi Pembangkang Zakat
Setelah Rasulullah SAW wafat , Abu Bakar naik menjadi menjadi khalifah, sebagian orang arab menolak membayar zakat dengan alasan bahwa zakat yaitu kewajiban yang dibayarkan kepada Nabi, setelah wafat maka tidak ada lagi kewajiban itu. Abu Bakar berniat memerangi mereka. Kebijakan ini secara teks tidak ada dalam Al-quran dan Sunnah, tetapi demi kemaslahatan Abu Bkar berani membuat kebijakan ini setelah berdiskusi dengan para sahabat. Kebijakan ini diambil sebagai tanggung jawab negara dalam merealisasikan tujuan syariah hifzhu al-din untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat.
b.      Taudhif  (Pajak)
Taudhif  adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada umat Islam yang mempunyai kelebihan harta di luar kewajiban zakat untuk menutupi defisit anggaran. Kewajibannya bersifat tetap dalam rangka fungsi hirasatud din dan siyasatud dunya bihi. Hal ini untuk keperluan jihad dikarenakan sumber zakat tidak bisa mencukupi.
c.       Kebijakan Umar bin Khattab yang mengandung Maqashid Syariah
Umar dikenal sebagai tokoh inovatif dalam berijtihad, diantaranya adalah:
1)      Kasus Tanah Sawad di Iraq
Umar tidak membagikan harta ghanimah kepada prajurut Islam, walaupun berdasarkan Al-quran (Al-Anfal 41) bahwa 80% hasil tersebut harus diserahkan kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan tempat tersebut, sedangkan 20% untuk baitul maal.
2)      Tidak Memotong Tangan pencuri
Alasan Umar pada ketika itu yaitu lantaran pada masa itu suasana ekonomi sangat gawat (paceklik) yang disebut amul maja’ah.[24]

M.   Fatwa-Fatwa Dalam Ekonomi Islam
1.      Kedudukan Fatwa 
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam aturan Islam untuk memperlihatkan tanggapan dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai tumpuan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, menyerupai dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu  secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa  mempunyai fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan aturan yang merupakan regulasi praksis bagi forum keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni  memperlihatkan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas perihal norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, lantaran konteks, sifat, dan abjad fatwa  ketika ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori usang perihal fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN.  Fatwa ekonomi syariah DSN ketika ini tidak hanya mengikat bagi praktisi forum ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan  Bank Indonesia (PBI). Bahkan dewan perwakilan rakyat baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 perihal Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah ketika di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi terperinci sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para jago dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral  bagi  mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang jago yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh menentukan mana yang lebih memperlihatkan qana’ah (penerimaan/kepuasan)  secara argumentatif  atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan aturan yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau forum parsial.
Otoritas fatwa perihal ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para jago syari’ah dan jago ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula forum kawan menyerupai Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik  mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa perihal masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi  tumpuan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi tumpuan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah  (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
2.      Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, lantaran bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh  berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh lantaran itu, dalam konteks ini setidaknya diterapkan empat  kaedah utama.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Ketiga, Formulasi  fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah”  (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah terkenal kaedah, Ainama tujadul malahal fa tsamma syar’ullah,(Dimana saja terdapat kemaslahatan, maka di sana ada syariah Allah). Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dihukumkan sebagai syariah. Seperti penerapan agunan dalam hutang piutang tertentu, merupakan syariah, lantaran mengandung maslahah, yakni untuk memelihara harta (hifzul mal) pihak ketiga.  Demikian pula keharusan menerapkan risk administrasi dalam perbankan syariah, yaitu syariah lantaran ia mengandung maslahah, yakni untuk meminimalisir resiko kerugian (kemudratan) dalam harta masyarakat.
Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi forum syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah  (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam  implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapat pembenaran dalam penerapannya di lapangan
Keempat, selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek kesepakatan fasid/batil. Prinsip ini dilarang dilanggar, dikarenakan telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.[25]

N.    Fatwa-Fatwa Syariah Nasional Dalam Bidang Ekonomi Islam dan Contohnya
1.      Produk-Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 61 fatwa perihal ekonomi syariah, antara lain, fatwa perihal giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam forum keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, hukuman atas nasabah bisa yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan pembatalan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, akta wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, akta investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah  ijarah, kartu kredit, fatwa perihal ganti rugi (ta’widh), pembiayaan multi jasa, Line Fasility,  (at-tashilat), pembiayaan rekening koran syari’ah, sejumlah fatwa perihal murabahah, menyerupai potongan tagihan murabahah, penyelesaian piutang murabahah, rescheduling murabahah dan konversi kesepakatan murabahah, mudharabah musytarakah pada asuransi syariah, kesepakatan wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah, kesepakatan tabarru’ pada asuransi dan reasuransi syariah, L/C dengan kesepakatan kafalah bil ujrah, hiwalah bil ujrah, review ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah, Obligasi Syariah mudharabah konversi, penyelesaian piutang dalam ekspor dan penyelesaian hutang dalam impor.dsb
Melihat banyaknya fatwa-fatwa ekonomi syariah tersebut, terlihat bahwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Memiliki kenerja yang baik, dinamis dan aktif meresponi banyak sekali masalah yang dihadapi.
2.      Konstribusi Pemikiran
Untuk mensosialisasikan dan menerapkan fatwa-fatwa ekonomi syariah serta untuk mewujudkan fatwa-fatwa yang berkualitas dan aslah, sejumlah bantuan pemikiran di bwah ini perlu dicermati.
Pertama, struktur dan format fatwa-fatwa ekonomi syariah DSN  sudah memadai dengan rumusan yang simple. Apabila dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memperlihatkan penentuan status aturan masalah yang difatwakan,  belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memperlihatkan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memperlihatkan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah.
Cukup banyak fatwa-fatwa yang terlalu umum dan mengesankan kekaburan, sehingga para praktisi dan bahkan akademisi tidak bisa memahami apalagi menerapkannya , lantaran fatwanya mengambang, tidak tuntas,  menyerupai fatwa nomor 56 perihal review ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah. Pada butir fatwa tersebut disebutkan ” Dalam keadaan sewa yang berubah-ubah, sewa untuk periode kesepakatan pertama harus dijelaskan jumlahnya. Untuk periode kesepakatan berikutnya boleh berdasarkan rumusan yang terperinci dengan ketentuan tidak menjadikan perselisihan.
Fatwa ini hanya menyebut rumusan yang jelas, tanpa menyebutkan rumusan yang terperinci tersebut bagaimana bentuknya. Bunyi fatwa ini tanggung dan kabur. Sehingga siapapun yang membaca pasti kebingungan, bagaimana rumusan yang terperinci tersebut. Bayangkan, bagaimana jadinya, kalau fatwa ini dibaca oleh generasi 25 tahun mendatang, tentu semakin mengecewakan bagi mereka.  Karena itu semoga fatwa ini difahami masyarakat ekonomi syariah dan bisa diterapkan oleh LKS,   disarankan semoga setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Kedua, fatwa-fatwa  ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, semoga umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak mempunyai buku fatwa ekonomi syariah DSN MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Ketiga, Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, pembinaan atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan bisa memahami bahkan menjawab masalah kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam masalah kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.
Keempat, Harus diakui bahwa pada masa lalu, (ketika ekonomi syariah gres berkembang di Indonesia),  para ulama dan pakar serta praktisi ekonomi mempunyai keterbatasan dalam masalah keilmuan ekonomi Islam secara komprehensif. Banyak pakar ekonomi konvensional dan praktisi ekonomi yang tidak jago dalam ilmu-ilmu syariah,Mereka mempunyai semangat keIslaman yang kuat, namun latar belakang keilmuan dan pendidikannya bukan dari pendidikan syariah, sementara banyak pula jago syariah yang tidak memahami masalah ekonomi keuangan modern. Mereka banyak dari luar negeri, pesantren dan IAIN. Sehubungan dengan dikhotomi dan disparitas tersebut maka DSN melaksanakan sinergi dengan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i atau koneksitas), semoga produk fatwa relevan dengan perkembangan modern dan tidak bertentangan dengan syariah.
Tetapi, ketika ini sejalan dengan kemajuan pendidikan di bidang ekonomi syariah, di mana pendidikan S2 dan S3 ekonomi syariah semakin berkembang, penelitian ekonomi syariah juga maju pesat, maka anggota DSN ke depan perlu merangkul pakar-pakar dengan disiplin keilmuan integratif, yaitu mereka yang memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan juga memahami ilmu-ilmu syariah dengan baik. Tokoh-tokoh menyerupai Umar Chapra, M.N. Ash-Shiddiqy, M.A.Chuodhury, Monzer Kahf perlu dilahirkan di negeri ini. Demikian pula ulama menyerupai Yusuf Qardhawi, Wahbah Az-Zuhaily, Mustafa Anas Zarqa dan sebagainya.[26]


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Filsafat aturan Islam yaitu filsafat yang menganalisis aturan Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapat keterangan yang mendasar, atau menganalisis aturan Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Para jago ushul fiqh, sebagaimana jago filsafat aturan Islam, membagi filsafat aturan Islam kepada dua rumusan (ruang lingkup), yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat syari’ah. Adapun objek kajian filsafat aturan Islam meliputi objek teoritis dan objek praktis.
2.      -    Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti”. Menurut para ahli, syariah
secara terminologi yaitu “segala titah Allah yang bekerjasama dengan tingkah laris insan diluar yang mengenai akhlak”. 
-          Secara terminologi fiqh merupakan potongan dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan perihal hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan insan yang telah remaja dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
-          Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul perihal tingkah laris insan mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama  Islam.
3.      Filsafat aturan Islam telah lahir semenjak masa Rasulullah saw, Setelah Nabi saw wafat, pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh para sahabat terutama oleh Umar bin Khattab, selanjutnya pada generasi berikutnya dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melaksanakan kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambali. Pada era sekarang, kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam aturan Islam ini telah dinaungi dalam sebuah organisasi keIslaman , di Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan oleh organisisai Islam yang disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
4.      Sifat dan karakteristik Hukum Islam : Bersifat Sempurna dan Universal, Dinamis dan Elastis, Sistematis, Memperhatikan Aspek Kemanusiaan dan Moral.
5.      Prinsip-Prinsip Hukum Islam : Tauhid, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Keadilan, Kebebasan, Persamaan, Saling Tolong Menolong, dan Toleransi.
6.      Kedudukan Al-Qur’an dalam Islam yaitu sebagai sumber aturan umat Islam dari segala sumber aturan yang ada dibumi yang sanggup dijadikan pedoman hidup dan petunjuk bagi umat manusia.
7.      Hadits/ Sunnah Rasulullah dengan beberapa jenisnya (qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah) merupakan sumber aturan Islam yang kedua dibawah Al-Qur’an.
8.      Ijtihad merupakan sumber aturan Islam ketiga setelah Al Alquran dan Hadis. Ijtihad dilakukan kalau suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Alquran maupun hadis, tetapi tidak ditemukan hukumnya.
9.      Secara umum tujuan aturan Islam adalah kebahagiaan hidup insan di dunia ini dan di darul abadi kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak mempunyai kegunaan bagi hidup dan kehidupan.
10.  Antara ijtihad dengan maqashid asy-syari’ah mempunyai kekerabatan yang tidak sanggup dipisahkan. Ijtihad pada pada dasarnya yaitu upaya penggalian aturan syara’ secara optimal. Upaya penggalian aturan syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid sanggup memahami maqashid asy-syari’ah . Oleh karenanya pengetahuan tentang maqashid asy-syari’ah adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
11.  Para ulama ushul fiqh setuju bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab banyak sekali problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid al-syariah menduduki posisi sangat penting dalam merumuskan aturan Islam, termasuk di dalamnya yaitu aturan ekonomi Islam. Tanpa maqashid syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan substansi syariah-nya.
12.  Ijtihad dalam bidang ekonomi sudah mulai diterapkan semenjak masa Rasulullah saw, masa khulafaur Rasyidin sampai sekarang. salah satu pola kebijakan berijtihad yang mengandung maqashid syariah yaitu tidak memotong tangan pencuri lantaran berdasarkan Umar pada masa itu suasa ekonomi sangat gawat ( paceklik) yang disebut amul maja’ah.
13.  Fatwa merupakan salah satu institusi dalam aturan Islam untuk memperlihatkan tanggapan dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai tumpuan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Diantara fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dalam bidang Ekonomi Islam yakni : fatwa perihal giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah dll.

B.     Kritik dan Saran
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Oleh lantaran itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapakan demi perbaikan makalah ini kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA


Akh Hakim. 2016. Hukum Islam dan Prinsip-prinsipnya. https://materisoalpribadiku.blogspot.com/search?q=24/karakteristik-hukum-islam/#_ftn7">[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.

E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
[2] Juhaya S. Praja, 1995,Filsafat Hukum Islam,(Pusat Penerbit Universitas LPPM:Bandung),hal 15
[3] Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat), hal 16
[4] Loc cit, Juhaya s. Praja, Filsafat Hukum Islam, hal 15
[5] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[6] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA.  Ilmu ushul fiqh. Hal. 18
[7] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal.3
[8]
[9] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Dar al-Fikr), juz 3, hal. 303.
[10] Sean Ochan. 2016. Sejarah dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam. https://materisoalpribadiku.blogspot.com/search?q=24/karakteristik-hukum-islam/#_ftn7">[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.

E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
[17]
[18] Prof.Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh.Semarang:Dina Utama,1994.h
[19] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), hlm.100.
[20] Katasiana.com. 2018. Sumber Hukum Islam.https://inspiring.id/sumber-hukum-Islam/ (Diakses pada tanggal 08 Januari 2018 Pukul 20:19 WIB)
[21] Ibid, Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syai’ah Menurut al-Syatibi, ……hlm.129 
[22] Rahmat Fauzi. 2017. Maqashid Al-Syariah.https://materisoalpribadiku.blogspot.com/search?q=24/karakteristik-hukum-islam/#_ftn7">[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.

E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
[23] Ibrahim Aji. 2014. Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Keuangan dan Perbankan Syariah. http://mysharing.co/maqashid-syariah-dalam-ekonomi-keuangan-dan-perbankan-syariah/ (diakses pada tanggal 9 Januari 2018 Pukul 13:34 WIB)
[24] Rahmat Fauzi. 2017. Maqashid Al-Syariah.https://materisoalpribadiku.blogspot.com/search?q=24/karakteristik-hukum-islam/#_ftn7">[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu.

E.     Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Dalam aturan Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip aturan Islam berdasarkan Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
Tauhid yaitu prinsip umum aturan Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua insan ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan aturan Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan insan dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian dilarang terjadi setiap mentuhankan sesama insan dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan aturan Islam yaitu ibadah dan penyerahan diri insan kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas aturan Ibadah, yaitu Azas fasilitas atau meniadakan kesulitan. Dari azas aturan tersebut terumuskan kaidah-kaidah aturan ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat insan untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf yaitu sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan aturan atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam aturan Islam meliputi banyak sekali aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, berdasarkan Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan lantaran esensinya, lantaran Allah tidak mendapat laba dari ketaatan dan tidak pula mendapat kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang sanggup membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam aturan Islam menghendaki semoga agama atau aturan Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip aturan Islam yaitu kebebasan dalam arti luas yang meliputi banyak sekali macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling faktual terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah insan atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan potongan penting dalam pembinaan dan pengembangan aturan Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial menyerupai komunis. 
6.      Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini mempunyai makna saling membantu antar sesama insan yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam yaitu toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya sanggup diterima apabila tidak merugikan agama Islam.[16]

F.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Dari segi  bahasa (etimologi)  Al-Qur'an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan berdasarkan istilah Al-quran yaitu firman (wahyu) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui mediator Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat, dengan memakai bahasa arab, berisi perihal petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, dan bagi orang yang membacanya merupakan ibadah.  Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan secara mutawatir Yang diawali dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas.
[25] Syaiful Bahri. 2010. Fatwa Ekonomi Syariah. (Penulis yaitu Sekjen DPP IAEI, Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta). https://syaifulbahrizone.wordpress.com/2010/01/23/fatwa-ekonomi-syari%E2%80%99ah-di-indonesia/ (diakses pada tanggal 09 Januari 2018 Pukul  13:51 WIB)
[26] Syaiful Bahri. 2010. Fatwa Ekonomi Syariah. (Penulis yaitu Sekjen DPP IAEI, Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia Jakarta).https://syaifulbahrizone.wordpress.com/2010/01/23/fatwa-ekonomi-syari%E2%80%99ah-di-indonesia/ (diakses pada tanggal 09 Januari 2018 Pukul  13:51 WIB)