Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Satu Hari Bersama Kuliner Daerah



Mari Menyemangati Pagi,
Sudah beberapa hari ini hujan di kala pagi. Hari itu pun demikian. Cuaca masih hambar menggoda. Tapi paginya indah sekali, ditemani hembusan angin segar nan berair jatuh di rerumputan yang masih tinggi yang belum saya pangkas. Rasanya saya bisa membayangkan bagaimana sawah padi yang masih hijau jauh di sana. Ciri khas potret-potret kesuburan alam Indonesia. Tak heran keanekaragaman pangannya pun melimpah. Dari bulir-bulir padinya saja, bisa bermetamorfosis bermacam bentuk dan rupa santapan utama.

Dan dengan hambar yang masih enggan beranjak, selimut bisa menjadi sahabat terbaik, namun sayangnya begitu banyak rutinitas yang harus dilakukan, apalagi untuk seorang Ibu Rumah Tangga ibarat saya. Bolehlah kiranya pagi itu saya didampingi semangat Sulawesi lewat kulinernya yang berjulukan buras.



Sejarah menyampaikan buras berasal dari Sulawesi. Dibalut akrab berselimut daun pisang, pangan dari beras bersantan ini bisa dinikmati begitu saja, namun lebih sering dicocol dengan saus tertentu atau bercampur dengan kuah ibarat yang pagi itu saya nikmati. Kuah udang kering namanya. Gurih dan mengundang selera. Konon, kuah udang kering ibarat itu olahan orang Banjar. Rupanya suku Banjar pun mengenal buras dan menjadi masakan khas mereka.

Membuburi Siang,
Uniknya, pagi yang hambar berbalas hangat di siang hari. Saya dan C’Mumut pun berangkat menuju Perpustakaan Kota Balikpapan. Sudah usang beliau tidak bermain-main di sana. Sekembalinya, kami putuskan untuk makan siang dari hidangan provinsi sendiri namun beda kota. Bubur Ayam Samarinda, namanya.

Mungkin bagi sebagian orang, mengenali bubur ayam tanpa kuah. Sedang bubur ayam yang ini dibarengi kuah.

Kuahnya serupa kuah soto, bening-gurih-dengan kaldu ayam. Diracik dengan bumbu khas soto, ditambah potongan hati, potongan telur rebus, suwiran daging ayam dan tomat. Ada pula taburan emping goreng. Cocok sekali untuk melepas rindu pada soto, namun tak mau bersentuhan dengan ketupat atau lontong atau nasi sekali pun. Maka, biarlah bubur bicara. Tak saya kira, C’Mumut pun habis lebih banyak dari sasaran saya.

Siang itu, kami tidak pulang ke rumah. Saya berniat mampir di rumah orangtua saya. Tak lupa, buah tangan khusus saya bawakan untuk itu. Ibu saya bersuku Banjar, berasal dari Kalimantan Selatan. Saya tahu selera penganannya yang lebih banyak camilan basah. Salah satunya yakni hamparan tatak. Tapi siang itu kembali diguyur hujan dan ibu sedang terlelap pulas. Mungkin, wadai berair ini lebih berkenan disantap sore nanti. Begitu pikir saya.

Sore nan basah…
Sore pun basah, wadai hamparan tatak pun basah. Hamparan tatak atau amparan tatak terbuat dari adonan tepung beras dan pisang serta santan, kemudian semua dikukus dalam loyang.  Ini bukan wadai biasa yang bisa ditemukan merata dijual. Biasanya saya temukan lebih banyak dijual ketika Ramadhan. Dan belum pernah saya temukan hamparan tatak diolah berinovasi menjadi bentuk dan rasa yang lain. Umumnya, para penjualnya selalu mempertahankan orisinalitasnya. Bahkan penikmatnya pun selalu mencari yang original.

Hamparan tatak yang orisinil tidak gampang dipegang, lebih nyaman bila dicolek dengan sendok, alasannya teksturnya sebetulnya lembut dan lemah. Rasanya manis, terutama bila pemilihan pisangnya sangat tepat. Dipadu dengan santan (ada lapisan santan tipis diatasnya) sehingga ada rasa gurih. Sekali bersentuhan dengan lidah, rasa manis, gurih, lembut dan nyess pribadi menuju titik menyenangkan dalam tubuh. Secara keseluruhan hamparan tatak memang benar-benar memanjakan lidah.

Sebungkus Malam Berdua…
Malam sudah menjelang, kami masih bersantai di rumah orangtua. Pak suami tiba menjemput kemudian mengajak saya makan bersama. Saya kira, saya sudah cukup kenyang dengan aneka masakan kawasan semenjak paginya. Namun malam itu, Pak suami memperlihatkan kuliner berbeda. Dia bilang kuliner ini ada sayurannya dan dari awal sudah mewanti-wanti, kuliner ini lezat walaupun ada pedasnya. Karena itu alhasil saya kepincut juga. Oh, saya penyuka sayur, tentu saja ingin tau dengan kuliner apa yang dimaksud.

Rupanya yang kuliner yang dimaksud yaitu Sego Pecel Tumpang. Katanya ini kuliner khas Kediri, Jawa Timur. Pak Suami memang berasal dari Jawa Timur, walau bukan Kediri. Memang, seringkali bersentuhan dengan kuliner kawasan asal bisa melepas rindu dengan keluarga dan kampung halaman, jikalau bersua masih tak memungkinkan.

Namanya saja pecel, tentu ada bumbu kacangnya. Sayurannya berupa kacang panjang, toge, bayam, kemangi. Masih ditambah dengan sambal tumpang, yang dibentuk dari bermacam bumbu, cabe, ditambah ulekan tempe. Lalu ada lauk telurnya (sepertinya ini optional saja) dan yang khasnya juga ada rempeyek sebagai sahabat pecel tumpang.

Tak lupa saya pun memotretnya dengan ASUS ZenFone yang sedari pagi sudah mendampingi saya berburu foto kuliner. 
Belajar Fotografi dengan Smartphone
Memang bukan hal biasa bagi saya memotret dengan smartphone. Jadilah saya orang yang banyak bertanya pada Pak suami bagaimana menggunakannya apalagi memotret Sego Pecel Tumpang di malam hari dengan cahaya rendah.
'menangkap kuliner' dengan ASUS
Pak suami kemudian menjelaskan bahwa ASUS ZenFone itu mempunyai fitur PixelMaster Camera. Cukup klik tanda empat persegi panjang kecil dibawahnya, nanti akan muncul pilihan: Auto, Time Rewind, HDR, Panorama, Night, Low Light, Selfie, Beautification, Miniature, Depth of Field, Smart Remove, All Smiles, dan GIF Animation.


Masing-masing punya peranannya. Kalau mau memfokuskan kuliner yang dituju, sedang yang lain blur, kita bisa pakai depth of field. Atau ibarat saya yang ingin memotret sego pecel tumpang dengan jelas, meski pencahayaan kurang bisa dengan low light

Dengan klarifikasi Pak suami itu saya jadi tertarik berguru memotret masakan lagi dengan ASUS ZenFone, apalagi dengan kemampuan pixelnya yang mumpuni.
Saat ini pun, foodphotography sedang menarik minat banyak orang, termasuk IRT macam saya.
Malam itu, hidangan sego pecel tumpang menjadi hidangan nusantara penutup. Saya benar-benar bahagia bisa mengenal masakan dari banyak sekali daerah. 

Jika esok kembali cerah ataupun hujan masih bersedia turun, bolehlah kiranya saya masih bisa mengenal hidangan nusantara lainnya dan memotretnya kembali. Entah sebagai pengikat rasa atau sebagai jalinan kekerabatan. Karena saya cinta masakan Indonesia.

Lidha Maul

---------
"Artikel ini diikutsertakan pada Blogging Competition Jepret Kuliner Nusantara dengan Smartphone yang diselenggarakan oleh Gandjel Rel."