Jatuh Bangkit Menanam Cabe
JATUH BANGUN MENANAM CABE |
Saya ini bukan orang yang suka berkebun dulunya. Asli nggak bisa. Bukan cuma itu, saya nggak ngerti kenapa ada orang ngefans banget ama tanaman.
Kok ada ya orang yang ‘sampai segitu-gitunya’ sama tanaman. Ni kata segitu-gitunya hingga nggak tau lagi mengartikannya gimana.
Saya juga nggak pernah ngerti majalah Trubus itu isinya apaan.
Tapi selama dua tahun, cuma itu aja yang saya datangi bila ke Perpustakaan Kota. Kebetulan saya nggak dapat beli terus-terusan majalah ini.
Tapi selama dua tahun, cuma itu aja yang saya datangi bila ke Perpustakaan Kota. Kebetulan saya nggak dapat beli terus-terusan majalah ini.
Menanam bagi saya, lempar biji sembunyi tangan. Tancap dikit, sisanya agar alam yang mengerjakan.
Ya, saya nggak punya dasar apa-apa berkebun, menanam nggak ngerti. Tapi, dibentuk jatuh cinta pada akhirnya. Cinta, ce.i.en.te.a. Saking sukanya mau aja berguru apa-apa yang diperlukan flora hingga cacing yang baik untuk tanah itu menyerupai apa. Dari mencangkul sendiri hingga nyari barang bekas buat pot.
Mudah-mudahan aja bila ada orang yang menyerupai saya, goresan pena ini dapat membantu. Semoga.
Saya mulai menanam sejak pindah rumah, kebetulan jikalau ke pasar mesti naik motor dan tukang sayur yang lewat depan rumah sering ngebut. Ini mau jualan apa mau balapan.
Tapi ada juga pesan yang tersirat dibalik ngebut-ngebutan ini.
Pilihan favorit saya yaitu flora yang dapat dimakan. Beberapa flora buah saya tanam lebih dahulu, itu pun jadwal dari RT. Selanjutnya saya menanam cabe. Katanya sih gampang. Benihnya saya ambil dari cabai yang saya beli di pasar. Benihnya saya tabur gitu aja di polybag dan sukses.
Sukses menciptakan saya bingung, anakannya tumbuh rame-rame, mau dicabut kasihan akarnya. Tapi mau gimana lagi, ya saya cabut dan pindahkan satu persatu ke polybag. Meskipun ada ratusan (eh, bersama-sama sih nggak ngitung, tapi alasannya yaitu rame banget kita anggap saja ratusan ya) 10 aja saya anggap cukup.
Yang lain agar bertarung disana. Rupanya pertarungan ini gagal. Jadi, habislah sudah. Sementara yang 10 itu pun sukses.
Sukses dimakan bekicot, hahaha.
Yang tersisa cuma 2. Itu pun daun-daunnya udah ada bekas gigi bekicot. Emang ia punya gigi? Trus saya rawat baik-baik dan ini alhamdulillah sukses lagi.
Sukses keriting daunnya, alasannya yaitu penyakit. *____*
Bukan cuma keriting, tapi juga ngeblur :D |
Tapi nggak ngefek. Saya tetap mau mencoba, saya semai lagi biji. Dan..ah sudah tau dong sukses lah pastinya.
Daunnya juga keriting, lagi-lagi kena penyakit. Nggak dapat berbuah jikalau begini.
Oke, saya emang belum dapat menikmati kesuksesan.
Tapi, setidaknya ada mereka yang dapat menikmati…..
Errrr….
Kesuksesan!!
dari agak siangan hingga sore, yang di bawah kok nggak capek? |
Trus saya kapok? Ya iyalah, sempet. Pengaruh hawa di tanganlah menyerupai kata orang. Nggak berjiwa nanamlah. Tapi, saya perhatiin orang yang cuma maen lempar aja numbuh. Masa’ sih saya yang kepengen dapat nanam gini nggak ada yang numbuh.
Saya tanam lagi cabai merah besar yang banyak dijual di pasar. Saya semai terpisah, nggak banyak, cuma lima aja. Saya mulai baca-baca di internet. Memang ada beberapa kendala, misal ada yang menyebutkan jikalau ingin semai biji lebih baik direndam (dengan rendaman khusus) lebih dulu. Tapi, yang begitu saya baca saja. Teori boleh, praktik tetap di tangan saya, hehe.
Dan Alhamdulillah, nggak ada daun keriting. Cuma pendek, nggak rimbun. Dan hampir frustasi alasannya yaitu nggak muncul bunganya. Idih, pokoknya ngegemesin. Sampai hasilnya bunga-bunganya muncul, seterusnya berbuah. Cuma satu.
Satu aja.
Saya tunggu-tunggu lagi kapan berubah warna, saya gres tau ternyata usang juga proses perubahan itu ya.
Kemudian saya surprise, haha. Warnanya berangsur-angsur berubah. Ya Allah pokoknya cakep banget. Saya jadi lebay, haha. Tiap hari saya pantengin tu cabe, nengok-nengok lah dari jendela, takut hilang. Padahal cuma sebiji loh, se-pod istilahnya. Saya foto-foto terus. Nggak ada deh orang kayak saya yang kurang kerjaannya kebangetan banget.
Dan kemudian apa yang terjadi? Saya males metik. Sayang. Buahahaha. Saya pandangin aja, nggak bosennya. Saya tahu saya sedang kualat ama orang yang saya bilang sampe ‘segitu-gitu’nya ama tanaman.
Sampai hasilnya memang harus dipetik alasannya yaitu takut busuk. Lalu flora itupun mati, lagi-lagi kena penyakit.
Patah semangat? Sempet. Tapi, tetep lanjooot.
Akhirnya saya berguru dikit-dikit. Saya berguru bikin mol (mikroorganisme lokal), poc (pupuk organic cair) juga accompanion plant alias flora pendamping. Ternyata ada flora yang baik untuk mendampingi misal, marigold. Ada juga yang menyarankan bunga-bunga warna kuning, gunanya untuk memancing hama pindah ke bunga ini lebih dulu. Saya pun menanam bunga matahari. Dan benar, banyak banget binatang mampir ke bunga.
Tanaman cabai saya selanjutnya yaitu cabai rawit. Sebenarnya ada dua jenis cabai rawit yang saya tanam, tapi nggak ngerti jenisnya apa. Yang satu dikala muda berwarna hijau muda kemudian orange bila tua. Yang kedua hijau renta dikala muda kemudian merah sehabis tua. Cabe apa gerangan? Cabe entahlah. Yang penting panen.
Saya lanjut lagi menanam cabai unik, saya punya cabai pelangi. Cabe mudanya diawali warna ungu, kemudian berubah orange dan terakhir merah.
Cabe ini jenisnya tidak pedas. Dari sini saya pun tahu, tingkat pedas cabai itu ada kategorinya dan ada lho perlombaannya. Rasa pedasnya dihitung memakai Skala Scoville Heats Unit (SHU). Saya juga jadi tahu, jikalau semakin pedas cabai tingkat menanamnya juga semakin sukar.
cabe pelangi selagi muda, masih ungu semua |
Cabe pelangi dan Bu Tani |
Hahaha.
Ternyata menanam itu bukan soal tangan dingin-tangan panas. Sama menyerupai hal lainnya, cuma soal kemauan.
Ini dongeng seriusan ya: saya pernah nanam jagung. Sekali-dua kali seterusnya gagal. Sampai benihnya habis, nggak numbuh juga. Sedih, tapi biarlah saya mesti move on. One day dengan kurun yang cukup lama, saya nanam bawang putih 4 biji di polybag. Singkat hari, suami saya nanya “kamu nanam jagung di situ?” saya yang ngerasa nyempilin bawang putih, ngotot-ngototan sumpah. Ah, paling-paling ilalang tumbuh. Lagipula jagung yang saya tanam bukan disitu tempatnya. Lama kelamaan,ilalang itu pun makin memperjelas sosok kejagungannya. Terr! Saya girang nggak nyangka.
Dari dongeng ini silakan aja diraba-raba hikmahnya apaan. Hikmahnya, bukan jagungnya.
Lanjut soal cabe, masih soal cabai unik, saya juga nanam namanya cabai peter pepper. Cabe ini rasanya nggak pedas, menyerupai cabai besar yang saya tanam di gambar atas. Cuma bentuknya unik. Uniknya kebangetan. Bangetnya nggak ketulungan. Tulungnya nggak karuan. Emejing, fantastis, eksotis XD.
Sekali waktu udah pernah berbuah, dan ibu-ibu tetangga yang lewat pun senyum-senyum sendiri. Kalau pun ada yang nanya, pertanyaannya mirip-mirip serupa: “mbak ini serius lomboknya begini?” Serius lah itu bu. Saya jawabnya serius, si ibu masih senyum.
“Kok kecil ya.” Hahaha. Mungkin alasannya yaitu di polybag kali ya.
Biar nggak ingin tau saya kasih liat penampakan, tapi ini yang gres nongol aja ya. Nggak tega eh saya kasih liat yang udah matangnya. Beneran, warbiyasah pokoknya.