Sejarah Sistem Ekonomi Liberal Masa Orde Lama
Halo teman-teman sekalian, kali ini saya akan bercerita wacana sejarah sistem ekonomi liberal di Indonesia. Memangnya Indonesia pernah pakai sistem ekonomi liberal ya?. Pernah dong, yaitu di awal-awal masa kemerdekaan yaitu 1950an. Penerapan sistem demokrasi liberal dimulai sesudah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nah dengan diberlakukannya sistem ekonomi liberal maka otomatis perekonomian Indonesia juga menjadi liberal dan tidak bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada beberapa hal yang mengakibatkan kegagalan sistem ekonomi liberal di Indonesia yaitu:
1. Setelah ratifikasi kedaulatan dari Belanda Indonesia menanggung beban utang sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Banyaknya gerakan pemberontakan di banyak sekali wilayah Indonesia yang mengakibatkan situasi keamanan dalam negeri tidak aman dan banyaknya pengeluaran negara untuk mengadakan operasi militer dalam menumpas pemberontakan.
3. Banyaknya pergantian kabinet yang mengakibatkan tiap kabinet tidak bisa menjalankan kegiatan dengan maksimal.
4. Ekspor Indonesia hanya bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan.
5. Indonesia belum mempunyai pengalaman untuk menata ekonomi secara baik. Selain itu Indonesia juga belum mempunyai tenaga jago dan dana pembangunan yang cukup.
Beberapa usaha yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian Indonesia di masa tersebut antara lain:
1. Gunting Syarifudin
Kebijakan Gunting Syarifudin merupakan pemotongan nilai mata uang (sanering), dan digagas oleh Menteri Keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara yang dilaksanakan pada 20 Maret 1950. Dasar kebijakan ini yaitu Surat Keputusan Menteri No 1 PU 19 Maret 1950. Tujuan Gunting Syarifudin yaitu untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1 miliar rupiah dan mengatasi problem jangka pendek yang dihadapi pemerintah. Tindakan gunting Syarifudin dengan cara memotong semua uang bernilai Rp 2,50 ke atas sampai bernilai setengahnya. Dengan demikian rakyat kecil tidak dirugikan lantaran yang mempunyai uang senilai Rp 2,50 hanya kalangan menengah ke atas.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Banteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional dalam rangka memperbaiki perekonomian Indonesia. Sistem ekonomi Gerakan Benteng digagas oleh Sumitro Joyohadikusumo, Menteri Perdagangan pada masa Kabinet Natsir. Adapun kegiatan Gerakan Benteng mencakup hal berikut.
1.) Menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan bangsa Indonesia.
2.) Pemberian kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional bagi para pengusaha Indonesia.
3.) Pemberian bimbingan dan dukungan kredit bagi para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah.
4.) Mendorong agar para pengusaha pribumi, secara bertahap, bermetamorfosis maju.
Pelaksanaan Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Selama kurun waktu 1950 - 1953 sekitar 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari kegiatan Gerakan Benteng. Akan tetapi, tujuan kegiatan ini tidak sanggup tercapai dengan baik, hal ini disebabkan:
1.) para pengusaha pribumi tidak sanggup bersaing dengan pengusaha asing;
2.) para pengusaha pribumi cenderung konsumtif;
3.) para pengusaha pribumi sangat tergantung pada dukungan pemerintah;
4.) para pengusaha kurang sanggup berdiri diatas kaki sendiri untuk membuatkan usahanya;
5.) para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari laba dari kredit yang diperoleh.'
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Nasionalisasi De Javasche Bank yaitu proses pemindahan hak kepemilikan tubuh usaha Belanda di Indonesia ke pemerintahan Indonesia. Latar belakang nasionalisasi De Javasche Bank yaitu sebagai berikut.
1.) Bank sirkulasi yang ada di Indonesia dikelola oleh orang Belanda bukan Pribumi.
2.) Adanya peraturan mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi.
Tujuan nasionalisasi De Javasche Bank adalah menaikkan pendapatan negara, menurunkan biaya ekspor, dan melaksanakan penghematan keuangan negara secara drastis.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perekonomian pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dinamakan Ali-Baba lantaran "Ali" menggambarkan sebagai pengusaha pribumi dan "Baba" sebagai pengusaha nonpribumi. Oleh lantaran itu, diharapkan adanya kolaborasi antara Ali dan Baba untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Tujuan dari program ini adalah agar pengusaha pribumi bekerja sama dengan pengusaha asing, khususnya Cina dalam memajukan ekonomi Indonesia.Melalui pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba, pengusaha nonpribumi diwajibkan memperlihatkan latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia semoga sanggup menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah juga menyediakan kredit dan lisensi bagi perusahaan swasta nasional dan memberikan proteksi agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Namun, sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan dengan baik lantaran hal-hal berikut.
1.) Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan kredit dari pemerintah.
2.) Indonesia menerapkan sistem liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas, tetapi pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Perundingan masalah nansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda berusaha diselesaikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dengan mengirim delegasi ke Jenewa, Swiss. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan terhadap rencana persetujuan Finek berikut.
1.) Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
2.) Hubungan Finek Indonesia Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
3.) Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, dihentikan diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Namun, pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan Finek sehingga Indonesia mengambil langkah sepihak berupa pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada 13 Februari1956. Sebagai tindak lanjut dari pembubaran Uni Indonesia-Belanda, pada 3 Mei 1956, Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampak dari pembubaran Uni Indonesia-Belanda dan pembatalan KMB adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, tetapi pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan Belanda tersebut, kesannya banyak perusahaan Belanda yang diambil alih nopribumi (Cina).
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
RPLT disusun pada Mei 1956 oleh Biro Perancang Negara yang dibuat pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II. Rancangan Undang-Undang tentang RPLT disetujui oleh dewan perwakilan rakyat pada 11 November 1958.
RPLT rencananya akan dilaksanakan antara 1956 1961. Dengan adanya perubahan situasi politik akibat ketegangan antara pusat dan daerah, sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada 1957. RPLT tidak sanggup berjalan dengan baik disebabkan:
1.) adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir 1957 dan awal 1958 menimbulkan ekspor dan pendapatan negara merosot;
2.) perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi;
3.) adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Pada masa Kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara sentra dan tempat akibat tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu sanggup teratasi dengan dengan diadakan Munap. Tujuan diadakan Munap adalah mengubah rencana pembangunan agar sanggup dihasilkan planning pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.
Dalam Munap terjadi perubahan sasaran dan prioritas dalam RPLT sehingga pembangunan merata. Namun, tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak sanggup dilaksanakan dengan baik. Berikut ini alasan kegagalan tersebut.
1.) Adanya kesulitan dalam memilih skala prioritas.
2.) Terjadi ketegangan politik antarpusat dan daerah yang tak dapat diredakan sehingga menimbulkan pemberontakan PRRI/Permesta.
3.) Penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta membutuhkan biaya besar sehingga meningkatkan de fisit Indonesia.
4.) Ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut problem Irian Barat semakin panas sampai mencapai konfrontasi bersenjata.
Gambar: disini Sumber https://www.gurugeografi.id/
1. Setelah ratifikasi kedaulatan dari Belanda Indonesia menanggung beban utang sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Banyaknya gerakan pemberontakan di banyak sekali wilayah Indonesia yang mengakibatkan situasi keamanan dalam negeri tidak aman dan banyaknya pengeluaran negara untuk mengadakan operasi militer dalam menumpas pemberontakan.
3. Banyaknya pergantian kabinet yang mengakibatkan tiap kabinet tidak bisa menjalankan kegiatan dengan maksimal.
4. Ekspor Indonesia hanya bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan.
5. Indonesia belum mempunyai pengalaman untuk menata ekonomi secara baik. Selain itu Indonesia juga belum mempunyai tenaga jago dan dana pembangunan yang cukup.
Beberapa usaha yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian Indonesia di masa tersebut antara lain:
1. Gunting Syarifudin
Kebijakan Gunting Syarifudin merupakan pemotongan nilai mata uang (sanering), dan digagas oleh Menteri Keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara yang dilaksanakan pada 20 Maret 1950. Dasar kebijakan ini yaitu Surat Keputusan Menteri No 1 PU 19 Maret 1950. Tujuan Gunting Syarifudin yaitu untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar 5,1 miliar rupiah dan mengatasi problem jangka pendek yang dihadapi pemerintah. Tindakan gunting Syarifudin dengan cara memotong semua uang bernilai Rp 2,50 ke atas sampai bernilai setengahnya. Dengan demikian rakyat kecil tidak dirugikan lantaran yang mempunyai uang senilai Rp 2,50 hanya kalangan menengah ke atas.
Gunting Syarifudin |
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional dalam rangka memperbaiki perekonomian Indonesia. Sistem ekonomi Gerakan Benteng digagas oleh Sumitro Joyohadikusumo, Menteri Perdagangan pada masa Kabinet Natsir. Adapun kegiatan Gerakan Benteng mencakup hal berikut.
1.) Menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan bangsa Indonesia.
2.) Pemberian kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional bagi para pengusaha Indonesia.
3.) Pemberian bimbingan dan dukungan kredit bagi para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah.
4.) Mendorong agar para pengusaha pribumi, secara bertahap, bermetamorfosis maju.
Pelaksanaan Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Selama kurun waktu 1950 - 1953 sekitar 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari kegiatan Gerakan Benteng. Akan tetapi, tujuan kegiatan ini tidak sanggup tercapai dengan baik, hal ini disebabkan:
1.) para pengusaha pribumi tidak sanggup bersaing dengan pengusaha asing;
2.) para pengusaha pribumi cenderung konsumtif;
3.) para pengusaha pribumi sangat tergantung pada dukungan pemerintah;
4.) para pengusaha kurang sanggup berdiri diatas kaki sendiri untuk membuatkan usahanya;
5.) para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari laba dari kredit yang diperoleh.'
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Nasionalisasi De Javasche Bank yaitu proses pemindahan hak kepemilikan tubuh usaha Belanda di Indonesia ke pemerintahan Indonesia. Latar belakang nasionalisasi De Javasche Bank yaitu sebagai berikut.
1.) Bank sirkulasi yang ada di Indonesia dikelola oleh orang Belanda bukan Pribumi.
2.) Adanya peraturan mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi.
Tujuan nasionalisasi De Javasche Bank adalah menaikkan pendapatan negara, menurunkan biaya ekspor, dan melaksanakan penghematan keuangan negara secara drastis.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perekonomian pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dinamakan Ali-Baba lantaran "Ali" menggambarkan sebagai pengusaha pribumi dan "Baba" sebagai pengusaha nonpribumi. Oleh lantaran itu, diharapkan adanya kolaborasi antara Ali dan Baba untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Tujuan dari program ini adalah agar pengusaha pribumi bekerja sama dengan pengusaha asing, khususnya Cina dalam memajukan ekonomi Indonesia.Melalui pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba, pengusaha nonpribumi diwajibkan memperlihatkan latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia semoga sanggup menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah juga menyediakan kredit dan lisensi bagi perusahaan swasta nasional dan memberikan proteksi agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Namun, sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan dengan baik lantaran hal-hal berikut.
1.) Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan kredit dari pemerintah.
2.) Indonesia menerapkan sistem liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas, tetapi pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Perundingan masalah nansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda berusaha diselesaikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dengan mengirim delegasi ke Jenewa, Swiss. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan terhadap rencana persetujuan Finek berikut.
1.) Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
2.) Hubungan Finek Indonesia Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
3.) Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, dihentikan diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Namun, pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan Finek sehingga Indonesia mengambil langkah sepihak berupa pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada 13 Februari1956. Sebagai tindak lanjut dari pembubaran Uni Indonesia-Belanda, pada 3 Mei 1956, Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampak dari pembubaran Uni Indonesia-Belanda dan pembatalan KMB adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, tetapi pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan Belanda tersebut, kesannya banyak perusahaan Belanda yang diambil alih nopribumi (Cina).
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
RPLT disusun pada Mei 1956 oleh Biro Perancang Negara yang dibuat pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II. Rancangan Undang-Undang tentang RPLT disetujui oleh dewan perwakilan rakyat pada 11 November 1958.
RPLT rencananya akan dilaksanakan antara 1956 1961. Dengan adanya perubahan situasi politik akibat ketegangan antara pusat dan daerah, sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada 1957. RPLT tidak sanggup berjalan dengan baik disebabkan:
1.) adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir 1957 dan awal 1958 menimbulkan ekspor dan pendapatan negara merosot;
2.) perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi;
3.) adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Pada masa Kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara sentra dan tempat akibat tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu sanggup teratasi dengan dengan diadakan Munap. Tujuan diadakan Munap adalah mengubah rencana pembangunan agar sanggup dihasilkan planning pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.
Dalam Munap terjadi perubahan sasaran dan prioritas dalam RPLT sehingga pembangunan merata. Namun, tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak sanggup dilaksanakan dengan baik. Berikut ini alasan kegagalan tersebut.
1.) Adanya kesulitan dalam memilih skala prioritas.
2.) Terjadi ketegangan politik antarpusat dan daerah yang tak dapat diredakan sehingga menimbulkan pemberontakan PRRI/Permesta.
3.) Penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta membutuhkan biaya besar sehingga meningkatkan de fisit Indonesia.
4.) Ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut problem Irian Barat semakin panas sampai mencapai konfrontasi bersenjata.
Gambar: disini Sumber https://www.gurugeografi.id/