Tokoh Fatwa Islam Imam Al-Ghazali
TOKOH PEMIKIRAN ISLAM “IMAM AL-GHAZALI”
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Biografi Al-Ghazali
Bahwasannya nama lengkap al-Ghazali yaitu Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysa buri . ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua sehabis Naysabun yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya yaitu seorang sufi yang sangat wara’. Yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya yaitu memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendpat bimbingan dan pendidikan.
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang berjulukan Ahmad. Ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melakukan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahnkan. Dan sehabis harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati biar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggadung mencari kebenaran., maka tidaklah mengherankan bila semenjak masa kanak-kanak ia telah be;ajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan mencar ilmu fiqh. Pada ulama populer yang benama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus, kemudian mencar ilmu kepada Abu Nashr al-Ismail di Jurjan dan hasilnya ia kembali ke Thus lagi sebagai citra kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, ia dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegas yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu biar sudi kiranya mengembalikan tasnya, kerena ia ingin mendapatkan aneka macam macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan begas itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan ta situ. Dan sehabis insiden itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan ia selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu daerah khusus yang aman.
Setelah mencar ilmu di Thus, ia kemudian melanjutkan mencar ilmu di Naysabur, daerah dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain sampai gurunya itu wafat. Dari beliau, dia mencar ilmu ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Pada periode ini, ia berusaha bersungguh-sungguh sehingga sanggup menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya kepadanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku. Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kebijaksanaan sehat yang jernih, Al-Juwaini kemudian menawarkan predikat bahrun mughrid (laut yang dalam dan menenggelamkan).
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1058 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar. Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Dengan semakin mencuatnya nam al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kenudian memerintahkannyapergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nadzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang hasilnya ia menjadi imam bagi penduduk Irak sehabis sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada ketika ini ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan kemudahan kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuj berdakwah, beribadah dan beri’itikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak ibarat dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi imam andal agama dan tasawuf serta penasehat seorang andal dalam bidang agama.
Setelah mengajar diberbagai daerah ibarat Bagdad, Syam dan Naysaburi, pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali ke kampung halamannya, banyak bertafaktur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan daerah khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 Jumadal akhirah 505 H/18 Desember 1111 M, imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.
B. Pemikiran pendidikan Al-Ghazali
Dalam pandangan al-Ghazali yang dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam menyampaikan bahwa sentral dalam pendidikan yaitu hati lantaran hati yaitu esensi dari manusia. Menurutnya substansi insan bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada membentuk adat yang mulia.
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada allah. Makara peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.
Adapun beberapa karya al-Ghazali antara lain :
1. Tahafut al-falasafi (tujuan-tujuan fisuf) 488 H, karya kalam al-Ghazali yang tertuji keoada para filosof dan pengagumnya yang bertentangan dengan iman islam, secara rasional.
2. Fadha’ih al-batnihiyyat wa fadha’ih al-mustazhhiriyyah (488 H), karyakalam al-Ghazali yang bertuju kepada golongan batiniyyah, untuk mengoreksi paham mereka yang berbeda dan bertentangan dengan iman islam yang benar.
3. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (488 H), karya kalam yang terbesar dari al-Ghazali untuk mempertahankan iman Ahlusunnah secara rasional.
4. Al-risalat al-qudsiyyah (488-489 H), karya kalam al-Ghazali yang disajikan secara ringan untuk mempertahankan iman Ahlusunnah.
5. Qawa’id al-‘aqa’id (488-489 H), karya teologi al-Ghazali yang mendeskripsikan materi iman yang benar berdasarkan paham Ahlusunnah. Karya ini yang meliputi juga nomor 4 diatas, sekarang termasuk dalam kitab ihya’ ulum al-din
6. Ihya’ ulum al-din (489-485 H), karya tulis al-Ghazali yang terbesar, yang memuat pandangan gres sentral al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama islam.
7. Al-maqashad al-asna:syarh asma’allah al-husna (490-495 H), memuat pembahasan al-Ghazali perihal nama-nama yang kuasa secara komprehensif, masalah-masalah teologi dan sufisme.
8. Faysal al-tafriqat bayna al-islam wa al-zandaqah (497 H), berisi konsepsi al-Ghazali perihal toleransi dalam bermadzhab teologi. Juga berisi perihal norma-norma yang dibuatnya untuk memecahkan soal kontradiksi antara teks wahyu dan kebijaksanaan dengan cara pentakwilan yang berstruktur.
9. Kitab al-arba’in fi ushul al-din (499 H), memuat bahasan perihal teologi pada sepuluh pokok pertama, dan ditutup dengan suatu klarifikasi mengenai hubungan iman dan makrifah.
10. Qanun al-ta’wil (sebelum 500 H), berisi aturan-aturan pentakwilan ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis nabi secara rasional.
11. Al-munqidz min al-dhalal (501-502 H), memuat riwayat perkembangan intelektual dan spiritual pribada al-Ghazali, penilaiannya terhadap metode para pemburu kebenaran, macam-macam ilmu pengetahuan dan epistimologinya.
12. Iljam al-awam’an ‘ilm al-kalam (504-505 H), karyabteologi al-Ghazali yang terakhir.
Yang termasuk karya monumental Al-Ghazali yaitu “Ihya Ulum al-Din” (menghidupkan kembali ilmu agama) al-Ghazali sangat besar lengan berkuasa dalam dunia islam, sehingga tidak mengherankan bila ada yang menyampaikan bahwa ia yaitu salah seorang tokoh terpenting sehabis nabi Muhammad SAW, ditinjau dari segi dampak dan kiprahnya dalam menata dan mengukur anutan keagamaan. Adapun karya-karya monumentum al-Ghazali yang lain yaitu : Mizanu al-A’mal, al_Arba’in, al-Tabru Masbuk Fi Nashah al-Mulk, dll.
Konteks senada dipaparkan oleh Abdul Fattah uhammad Sayyid Ahmad, bahwa kitab-kitab al-Gio pada perkembangan pemikiran islam secara khusus, dan secara umum pada pemikiran humanism. Karya monumental al-Ghazali yaitu kitabnya yang berjudul “Ihya Ulum al-Din”. Kitab ini membuat pemikiran orsinil al-Ghazali, yang berisi ilmu pengetahuan, cahaya petunjuk, sendi-sendi keimanan, dam ma’arifat. Dalam kitabnya Ihya al-Ghazali kedudukan ihsan.
Adapun mengenai materi pendidikan, al-Ghazali beropini bahwa al-Qur’an beserta kandungannya yaitu merupakan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini al-Ghazalim membagi ilmu pada dua macam, yaitu : pertama, ilmu syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, ilmu Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi akrab dengan khaliqnya. Ia juga menawarkan perhatian yang sangat besar pada kiprah dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“sebaik-baik ikhwalnyaadalah yang dikatan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia ibarat jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau ibarat sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar.maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka bergotong-royong ia telah memikul masalah yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa pendidik yang sanggup diserahi kiprah mengajar yaitu seorang pendidik yang selain mempunyai kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan mempunyai fisik yang kuat”
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga menawarkan kriteria-kriteria khusus yaitu :
1. Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying
2. Meneladani rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah
3. Memberikan peringatan perihal hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT
4. Memperingati murid dari adat tercela dengan cara-cara yang simpatik,halus tanpa cacian, maksiat dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum
5. Menjadi pola bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya
6. Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu
7. Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedan usianya
8. Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya berealisasikan sedemikian rupa
C. Relevansi pemikiran Al-Ghazali dengan pendidikan nasional
Dalam kaitannya dengan penerima didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka yaitu makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada allah swt. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh allah swt sesuai dengan kejadia insan yang tabi’at dasarnya yaitu cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik bertugas mengarahkan fitrah tersebut biar sanggup tumbuh dan berkembang sesuai tujuan penciptanya sebagai manusia.
Pemikiran al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep penerima didik menurutnya penerima didik yaitu insan yang fitrah. Konsepnya berlandaskannpemahamannya terhadap menafsirkan firman allah pada surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya:
Maka hadapkanlah dengan lurus kepada agama alla; (tetaplah atas) fitrah allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah. (itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui.
Ada pun kaitanya terhadap penerima didik, bahwa fitrah insan yang sangat luas. Al-Gazali menjelaskan klafikasi fitra dalam beberapa fokok sebagai berikut:
1. Beriman kepada allah
2. Kemampuan dan kesediaan untuk mendapatkan kebaikan dan keterunan atau dasar kemampuan untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
3. Dorongan untuk mencari hakika kebenaran yang merupakan dya untuk berpikir
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting
5. Kekuatan lain-lain dan sifat sifat insan yang sanggup di kembangkan dan di sempurnakan
Dengan demikian konsep fitrah yang di letakan al-Gazali dalam memahami penerima didik masi mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keterunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan al-gazali lebih berkontraksi pada nilai moral, mencar ilmu merupakan slah satu bab dari ibadah guna mencapai seorang hamba yang tetap akrab (taqarruf) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang penerima didik harus berusaha mensuciksn jiwa nya dan ahlak yang tercelah.
Selanjutnya syarat yang fundamental bagi penerima didik ibarat diatas, mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang penerima didik, syarat-syarat tersebut antara lain :
1. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan usaha yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik
2. Peserta didik harus merasa satu bimbingan dengan penerima didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka penerima didik harus saling mencintai dan menolong serta berkasih saying sesamanya
3. Peserta didik harus menjauhi diri dari pembelajaran aneka macam madzhab yang sanggup menjadikan kekacauan dalam pikiran
4. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang berminat, melainkan ia harus mempelajari aneka macam ilmu lainnya dan berupaya sungguh-sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tersebut tercapai.
Adapun pemikiran al-Ghazali lainnya sebagai berikut :
1) Belajar merupakan proses jiwa
2) Belajar menuntut konsentrasi
3) Belajar harus didasari perilaku tawadhu’
4) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
5) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari
6) Belajar secara bertahap
7) Tujuan mencar ilmu untuk berakhlakul karimah
Oleh lantaran itu aba-aba pendidik al-Ghazali menuju insan tepat yang sanggup mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan alam abadi yang hal ini berlangsung sampai simpulan hayatnya. Hal ini berarti bahwa insan hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu sanggup dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu’ (1) ilmu kasbi sanggup diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik yang dilakukan secara konsisten dan sedikit demi sedikit melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana perolehannua sanggup memakai pendekatan ta’lim insani, (2) ilmu ladunni sanggup diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya illahi dalam qalbu, yang mana perolehannya yaitu memakai pedekatan ta’lim rabbani.
Al-Ghazali menggunakan tsawuf(pahala) dan uqubah(dosa) sebagai reward and punishment-nya. Di samping itu, ia juga mengalaborasi dengan pendekatan humanistic yang menyampaikan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai insan secara holistic dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali perihal hal ini yaitu bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka yaitu anak kandung sendiri.
Menurut al-Ghazali pendidik tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang sehabis proses itu masing-masing guru dan murid berjalan dijalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia yaitu interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa lantaran menawarkan pendidikan dan yang terakhir sanggup mengolah dirinya dengan pemanis pengetahuan yang di dapatkannya.
Selanjutnya ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua : yaitu ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan duduk masalah aqidah dan ibadah wajib, contohnya termasuk ilmu yang fardhu’ain. Secara ringkas ilmu tersebut yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikaruniai kebijaksanaan yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu’ain, lebih aripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
D. Referensi
1. (Jakarta: Khalifah, 2005) Abdul Majid al-Najjari, pemahaman islam; antara rakyu dan wahyu cet. 1, Bandung: Renaja Rosda Karya, 1997
2. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, aliran politik dan Aqidah dalam islam cet. 1, (Jakarta: Logos, 1996)
3. (Bandung: Mizan, 2006) Hasyimsah Nasution, filsafat islam cet. 3
4. Shofiyyulah Mukhlas, Ensiklopeda filsafat. Cet. 1 (Jakarta: Khalifah Puataka al-Kautsar Grup 2005)
5. Syaikh Al-‘Aidarus, Ed, Ihya Ulum al Din al Majlid al-Awal (Muqaddimah Ihya), (Beirut: Dar al-Jail, 1992)
6. Yunasril Ali, perkembangan pemikiran filsafat dalam islam, cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)