Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Pendidikan Agama Islam


MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


BAB 1 IMAN KEPADA HARI AKHIR
     A.    Latar Belakang Masalah
Rukun iman yang kelima yaitu beriman kepada hari akhir. Iman kepadahari selesai yaitu percaya akan adanya hari akhir. Hari selesai yaitu hari berakhirnya kehidupan dunia. Pada saat itu baik dan buruknya perilaku seseorangakan dicatat bergantung bagaimana kadar keimanan seseorang dalam hatinya.Iman kepada hari selesai rmerupakan sesuatu yang wajib kita imani sebagaiumat muslim, walaupun kita tidak mengetahui kapan akan datangnya hari akhirtetapi di al-Qur’an sudah dituliskan di wajibkan untuk semua kaum musliminuntuk mengimaninya, mengimani hari selesai yaitu salah satu cara supaya kita biasselalu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, karena dari kita sudah banyak yang terlena dengan kehidupan duniawi, yang hanya mengedepankan kehidupan duniawi dan membelakangkan dunia akherat. Inilah yangmelatarbelakangi dibuatnya makalah ini.  
        B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kasus di atas, kasus yang dirumuskandalam makalah ini adalah:
1.      Apa Pengertian Iman Kepada Hari Akhir?
2.      Bagaimana Tanda-tanda selesai zaman sudah dekat?
3.      Bagaimana gambaran hari selesai zaman berdasarkan Al Qur’an?
4.      Apa insiden yang terjadi pada hari akhir?
5.      Apa pesan tersirat iman kepada hari akhir? 

     C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Dapat memahami apa itu hari akhir
2.      Dapat mengetahui apa nama-nama lain dari hari akhir
3.      Dapat mengetahui gejala selesai zaman sudah dekat
4.      Dapat mengetahui insiden apasaja yang terjadi pada hari akhir
5.      Dapat memahami wacana iman kepada hari akhir

PEMBAHASAN
     A.          Pengertian Iman kepada Hari Akhir
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkanmenurut istilah, pengertian iman yaitu membenarkan dengan hati, diucapkandengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).Iman kepada hari selesai atau hari selesai zaman yaitu meyakini adanyakehidupan yang kekal kekal setelah hancurnya alam semesta ini dan insan akanmendapat jawaban yang seadil-adilnya wacana amal yang telah dilakukan sewaktudi dunia.Tentang kapan datangnya hari kiamat, tidak ada yang dapatmengetahuinya termasuk Nabi dan Rasul kecuali hanyalah Allah swt. Hari akhirsama dengan hari kiamat.
Para Ulama’ membagi selesai zaman menjadi dua macam, yaitu selesai zaman sugra dankiamat kubra.
1.      Kiamat Sugra
Kiamat sugra yaitu selesai zaman kecil, yaitu rusaknya sebagian makhluk,misalnya kematian dan terjadinya musibah menyerupai gempa bumi, gunungmeletus, banjir dan sebagainya.
2.      Kiamat Kubra
Kiamat kubra yaitu selesai zaman besar Adalah hancurnya alam semestadengan segala isinya secara serempak, atau berakhirnya seluruh kehidupanmakhluk alam ini secara serempak. Kapan terjadinya hari selesai zaman hanya Allahyang tahu, Tidak ada satu makhlukpun yang sanggup mengetahui secara pastikapan selesai zaman terjadi (QS. Thoha : 15).Setelah selesai zaman kubra terjadi maka malaikat Israfil akan meniupsangkakala untuk yang kedua kalinya. Hal ini menunjukan Allah akanmembangkitkan dan menghidupkan kembali insan yang paling selesai yanghidup du muka bumi akan bangkitnya dari alam kubur. Peristiwa ini dinamakan Yaumul ba’ast.
     B.     Tanda-tanda hari akhir
Tanda-tanda hari selesai zaman diterangkan oleh Rasulullah saw dalam hadisyang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syibah, Muslim dan Turmudzi. Tanda-tandahari selesai zaman yaitu sebagai berikut :
1.      Tanda-tanda selesai zaman kecil, antara lain :
a.       Hamba sahaya perempuan melahirkan Tuannya.
b.      Ilmu agama dianggap tidak penting
c.       Perzinaan, Minuman keras, Fitnah, Pembuhan meraja rela dimana mana.
d.      Jumlah perempuan lebih banyak daripada pria dengan perbandingan 50:1
e.       Banyak terjadi gempa bumi / Musibah / Bencana Alam
f.       Lahirnya Dajjal (tukang dusta) yang mengaku dirinya utusan Allah swt
2.      Tanda-tanda selesai zaman besar , anatara lain :
a.       Matahari terbit dari barat 
b.      Munculnya hewan aneh yang sanggup berbicara
c.       Rusaknya Ka’bah dengan sendirinya
d.      Seluruh insan menjadi kafir dan lenyapnya Al-Qur’an 
e.       Berkuasanya Bangsa Ya’juj dan Ma’juj di muka bumi. 
     C.    Gambaran hari selesai zaman berdasarkan Al-Qur’an
1.      Datangnya hari selesai zaman ditandai dengan tiupan sang sakala. ( Q.S.An- Naml :87
2.      Bumi digoncangkan sekuat kuatnya hingga mengeluar kan isi yangdikandungnya (QS. Al- Zalzalah : 1 –  5)
3.      Gunung-gunung kemudian pecah berterbangan menjadi pasir (QS. Al-Haqqah : 14)
4.      Matahari di gulung, bintang-bintang berjatuhan dan bahari meluap. (QS. Al-Infithor : 1–3)
5.      Manusia tidak sanggup menolong insan lainnya, bahkan seorang ayahterhadap anaknya sendiri. (QS. Lukman : 33)

    D.    Peristiwa yang bekerjasama dengan Hari Akhir
1.      Yaumul Barzah (Alam Kubur), Masa atau waktu antara setelah meninggalnya seseorang hingga menunggu datangnya hari kiamat.

BAB II IMAN KEPADA QADA DAN QADAR


A . Latar belakang
            Hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah  bahwa hakikat warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan tidak satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua insiden yang telah terjadi yaitu kehendak dan kuasa Allah SWT. Begitu pula dengan bencana-bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puting-beliung dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita yaitu atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT.Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
            Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan wacana ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai keinginan tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.
            Keimanan seorang mukmin yang benar harus meliputi enam rukun. Yang terakhir yaitu beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir sanggup berakibat fatal, mengakibatkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait kasus takdir ini.

B . Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan iman qada’ dan qadar?
2.      Takdir dibagi menjadi berapa macam?
3.      Apa fungsi beriman kepada qada’dan qadar Allah SWT?
4.      Bagaimana ciri – ciri orang yang beriman kepada qada’ dan qadar?
5.      Bagaimana pesan tersirat bagi orang yang beriman kepada qada’ dan qadar?

C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.      Untuk memahami iman kepada qada’ dan qadar
2.      Untuk memahami dan mengetahui macam-macam takdir
3.      Untuk memahami fungsi iman kepada qada’ dan qadar
4.      Untuk mengetahui ciri-ciri orang yang beriman kepada qada’ dan qadar
5.      Untuk mengetahui pesan tersirat bagi orang yang beriman kepada qada’ dan qadar
PEMBAHASAN
IMAN KEPADA QADA’ dan QADAR
1. PENGERTIAN BERIMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR
            Iman yaitu keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ berdasarkan bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya eksistensi atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya berdasarkan bahasa berarti ukuran. Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentuan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.  Jadi, Iman kepa qada’ dan qadar yaitu percaya sepenuh hati bahwa sesuatu yang terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuangnya telah ditentukan Allah SWT semenjak jaman azali. Iman kepada qada’ dan qadar termasuk rukun iman yang keenam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Iman yaitu kau percaya kepada allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya, hari akhir, dan kau percaya kepada takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Dan sabda Rasullullah SAW yang artinya : “Malaikat akan mendatangi nuthfah yang telah menetap dalam rahim selama empat puluh atau empat puluh lima malam seraya berkata; ‘Ya Tuhanku, apakah nantinya ia ini sengsara atau bahagia? ‘ Maka ditetapkanlah (salah satu dari) keduanya. Kemudian malaikat itu bertanya lagi; ‘Ya Tuhanku, apakah nanti ia ini pria ataukah perempuan? ‘ Maka ditetapkanlah antara salah satu dari keduanya, ditetapkan pula amalnya, umurnya, ajalnya, dan rezekinya. Setelah itu catatan ketetapan itu dilipat tanpa ditambah ataupun dikurangi lagi.” (HR. Muslim)
Allah berfirman :
Artinya : “Tiadalah suatu peristiwa menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu, melainkan dahulu sudah tersurat dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu yaitu gampang bagi Allah.” (QS. Al-Hadiid:22) 
2. MACAM-MACAM TAKDIR
Takdir terbagi menjadi dua bagian,yakni:
a. Takdir Mu’allaq
            Takdir mu’allaq yaitu takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan sanggup berubah karena perjuangan dan ikhtiar manusia. Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu  kaum sehingga mereka itu mengubah nasibnya sendiri.” (Ar-Radu : 11)
Contoh :
1) Miskin bisa jadi kaya, karena bekerja keras
Allah berfirman : 
Artinya : “Dan katakanlah(hai Muhammad) : Bekerjalah kau semua, maka Allah dan Rasulnya serta orang mukmin akan melihat hasil pekerjaanmu.’ (At- Taubah ayat 105)
2) Bodoh Menjadi Pintar , karena mau mencar ilmu giat
Rasullulah SAW bersabda yang artinya : “Belajarlah kau sekalian, ajarkanlah bertawakal kau kepada guru, serta lemah lembutlah kau kepada murid.” (H.R. Tabrani)
3) Orang sakit bisa menjadi sembuh, karena berobat dan berdoa
Allah berfirman :
 Artinya : “Berdoalah kau kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkan permohonanmu.”  (Al-Mu’minun ayat 60)
b. Taqdir Mubram
            Takdir mubram ialah takdir yang pasti terjadi dan tidak sanggup dielakkan kejadiannya. Contohnya nasib manusia, lahir, kematian, jodoh, rizkinya, dan terjadinya selesai zaman dan sebagainya. Qada’ & qadar Allah SWT yang bekerjasama dengan nasib insan yaitu belakang layar Allah SWT, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui perjuangan dan ikhtiar. Kapan insan lahir, bagaimana statusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah belakang layar Allah SWT. Jalan hidup insan menyerupai itu sudah ditetapkan semenjak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatu atau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahuinya.
3. FUNGSI BERIMAN KEPADA QADA’DAN QADAR ALLAH SWT
            Beriman kepada qada’dan qadar mempunyai fungsi penting bagi insan dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya:
a) Mempunyai semangat ikhtiar
            Ikhtar artinya melaksanakan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman menyerupai itulah ,seorang murid akan bekerja keras supaya biasa sukses, pedagang akan hidup ekonomis supaya usahanya berkembang, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
Artinya:“ Dan bahwa insan hanya meperoleh apa yang usahakannya. Dan sesungguhnya  usahanya itu kelak akan diperlihatkan(kepadanya).”(Q.S.An-Najm, 39-40)
b) Mempunyai sifat sabar dalam menghadapi cobaan
Dengan percaya qada’ dan qadar, insan akan sadar bahwa kehidupan adalah ujian-ujian yang harus dilalui dengan sabar. Sabar yaitu sikap mental yang teguh pendirian,berani menghadapi tantangan,tahan uji,dan tidak mengalah pada kesulitan. Teguh pendirian berarti tidak gampang goyah dalam memagang prisip atau pedoman hidup,berani menghadapi tantangan berarti berani menghadapi cobaan,penderitaan,kesakitan dan kesensaraan. Cobaan harus dihadapi dengan tenang, dipikir dengan jernih, dicari jalan keluarnya tampa mengalah pada kesulitan,dan karenanya diserahkan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Artinya: Apakah insan menerka bahwa mereka akan dibiarkan hanya mengatakan, ’’kami telah beriman, ”dan mereka tidak di uji” (Q.S.AL-Ankabut,29:2)
c) Sabar bahwa cobaan yaitu qada’dan qadar dari Allah SWT
            Segala yang ada di alam semesta hakikatnya yaitu milik Allah SWT dan suatu ketika akan kembali kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
Artinya:“Yaitu orang-orang apabila ditimpa musibah,mereka berkata’Inna’lilliahi wa inna ilaihi rajiun’.(Q.S. Albaqarah,2:156)
d)Tawakal
            Tawakal berdasarkan bahasa artinya bersandar atau berserah diri. Dalam istilah agama, tawakal artinya berserah dirisepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu hasil dari suatu pekerjaan atau usaha.  Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal artinya menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kepentingan. Dalam hal ini, tawakal kepada Allah SWT bkan berarti penyandaran diri kepada Allah SWT secara mutlak, melaikan penyandaran diri yang haras didahului dengan kerja keras dalam berikhtiar berdasarkan kemampuan maksimal.
4. CIRI- CIRI ORANG YANG BERIMAN KEPADA QADA’DAN QADAR.
a. Qana’ah dan Kemuliaan Diri
            Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia mendapatkan sepenuhnya, juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak sanggup dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang telah Allah menetapkan baginya. Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka. Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
b. Cita-Cita Yang Tinggi
            Maksud dari keinginan yang tinggi yaitu menganggap kecil apa yang bukan selesai dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan keinginan yang rendah, yaitu sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
c. Bertekad dan Bersungguh-Sungguh dalam Berbagai Hal
            Orang yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam banyak sekali urusannya, memanfaatkan peluang yang tiba kepadanya, dan sangat menginginkan segala kebaikan, baik alam abadi maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit beramal.
            Bahkan, keimanan ini mempunyai dampak yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melaksanakan pekerjaan besar, yang mereka menerka sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan banyak sekali faktor yang mereka miliki pada ketika itu tidak cukup untuk menggapainya.
d. Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah
            Iman kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, alasannya yaitu insan dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam.
Orang-orang yang beriman kepada qadar mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas banyak sekali urusan alam abadi dan dunia. Lalu, dengan melaksanakan hal tersebut, mereka mendapatkan, banyak sekali kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka mendapatkan hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang sanggup mereka hadapi, meringankan apa yang sanggup mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan alasannya yaitu itu, akan mendapatkan banyak sekali kebaikan yang besar yang sanggup menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
e. Selamat Dari Kedengkian dan Penentangan
            Iman kepada qadar sanggup menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka, contohnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada insan atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memperlihatkan dan menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia menentang ketentuan Allah. Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata.
5. HIKMAH ORANG YANG BERIMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR
            Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak pesan tersirat yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
a. Banyak Bersyukur dan Bersabar
            Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian. Firman Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nyalah kau meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
b. Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dan Putus Asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu yaitu semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia gampang berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya yaitu ketentuan Allah. Firman Allah SWT:
   Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah gosip wacana Yusuf dan saudaranya dan jangan kau berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
c. Bersifat Optimis dan Giat Bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak tiba begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh alasannya yaitu itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan ulet bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firman Allah:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kau melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 7
d. Jiwanya Tenang
            Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, alasannya yaitu ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
 Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku. ( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
BAB III KRITIS DAN DEMOKRATIS

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

         Dalam Al-Qur’an banyak terdapatayat-ayat yang menyerukan insan untuk memperhatikan, merenung dan memikirkan penciptaan Allah baik yang di langit, bumi maupun diantara keduanya.Diantara ayat-ayat yang menerangkan wacana hal tersebut yaitu Q.S Ali Imran ayat 190-191.
        Demokrasi merupakan suatu paham yang didalamnya mengandung asas-asas musyawarah yang pernah dilakukan Rasulullah SAW semasa hidup dia dan diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’anul-Karim. Indonesia juga merupakan negara demokrasi, akan tetapi demokrasi di Indonesia yaitu demokrasi pancasila yang didasarkan pada sila-sila yang terdapat dalam pancasila tersebut.
Seperti halnya anutan islam demokrasi juga menjunjung nilai persatuan dan kesatuan, maka dari itu kita sebagai generasi bangsa indonesia haruslah tahu wacana demokrasi. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan wacana demokrasi, salah satunya yaituQS Ali Imraan: 159

PEMBAHASAN


2.1  Surah Al Imran (3) : 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ    
فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)

 Penjelasan 

Surah Ali Imran Ayat 159 menyebutkan tiga hal secara berurutan untuk
dilakukan sebelum bermusyawarah, yaitu sebagai berikut

1. Bersikap lemah lembut. Orang yang melaksanakan musyawarah harus menghindari tutur kata yang agresif serta sikap keras kepala. Jika tidak,maka kawan musyawarah akan pergi menghindar.

2. Memberi maaf dan bersedia membuka diri. Kecerahan pikiran hanya sanggup hadir bersamaan dengan sirnanya kekerasan hati serta kedengkian dan dendam.

3. Memohon ampunan Allah sebagai pengiring dalam bertekad, kemudian bertawakal kepada-Nya atas keputusan yang dicapai yang diharapkan dari musyawarah yaitu mufakat untuk kebenaran karena Nabi Muhammad saw.
Di dalam bermusyawarah, kadang terjadi perselisihan pendapat atau perbedaan.

Ayat ini menyinggung kekhususan Rasul, yakni etika mulia beliau. Ayat ini menyatakan, apa yang mengakibatkan orang-orang Arab yang bersifat keras dan suka perang berkumpul di sisimu dan beriman kepadamu yaitu kelembutan akhlakmu. Sekirannya kau menyerupai mereka, maka tak seorangpun tiba ke sisimu dan merekapun yang beriman akan berpaling darimu. Oleh karenanya, maafkanlah ketidaktaatan mereka dalam perang Uhud dan beristigfarlah untuk mereka. Meskipun sebelum perang anda bermusyawarah dengan mereka dan musyawarah ini gagal, namun janganlah anda meninggalkan musyawarah dengan mereka dalam urusan bekerjasama dengan mereka. Karena engkau yaitu teladan mereka.

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang sanggup dipetik:

1.      Kasih sayang yaitu hadiah Tuhan yang diberikan kepada para pimpinan agama.  
                  Siapa yang ingin menasihati orang lain, hendaknya dilakukan dengan kasih   sayang. 
2. Di samping melaksanakan musyawarah, jangan melupakan tawakal kepada Allah.

Ø  Kandungan Qs Ali Imraan159

a. Dalam menghadapi semua kasus harus dengan lemah lembut melalui jalur   musyawarah untuk mufakat, dihentikan dengan hati yang agresif dan sikap kekerasan.
b. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menuntaskan setiap urusan.
c. Apabila telah dicapai suatu kesepakatan, maka semua pihak harus mendapatkan dan bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada Allah.
d. Allah menyayangi hamba-hambanya yang bertawakkal

Ø  Adapun hal hal yang sanggup kita amalkan dalam kehidupan sehari hari

a.  Tidak boleh berkeras hati dan bertindak agresif dalam menuntaskan suatu permasalahan, tetapi dengan hati yang lemah lembut.
b.  Setiap muslim harus berlapang dada, berperilaku lemah lembut, pemaaf dan memohonkan ampun kepada Allah.
c.  Dalam kehidupan sehari-hari kita harus mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menuntaskan setiap persoalan.
d. Apabila telah tercapai mufakat, maka setiap individu harus mendapatkan dan melaksanakan keputusan musyawarah.
e.  Selalu berserah diri kepada Allah sehingga tercapai keseimbangan antara ikhtiyar dan berdo’a

2.2 Surah Al Imran (3) : 190-191

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ                                            

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala bagi orang-orang yang berakal.” (190)

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ                                                                                                                           

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan wacana penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau membuat ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (191)


Ø  Uraian dan Tafsir ayat

     Dalam ayat 190 menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta keindahan asumsi dan keajaiban ciptaan-Nya juga dalam silih bergantinya siang dan malam secara teratur sepanjang tahun yang sanggup kita rasakan eksklusif pengaruhnya pada badan kita dan cara berpikir kita karena dampak panas matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia tanaman dan fauna merupakan tanda dan bukti yang memperlihatkan keesaan Allah, kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaan-Nya.
     Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib.Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap ketika nampak hidup.Semua bergerak berdasarkan aturan.
     Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala yang bernyawa.Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya.Musim pun silih berganti.Musim dingin, panas, gugur, dan semi.Demikian juga hujan dan panas.Semua ini menjadi gejala kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir.Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya.Pasti ada yang membuat yaitu Allah SWT.
     Diriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: "Wahai 'Aisyah apakah engkau mengizinkankanda pada malam ini untuk beribadah kepada Allah SWT sepenuhnya?". Jawab Aisyah ra: " wahai Rasulullah, Sesungguhnya saya menyenangi apa yang kanda senangi, menyukai apa yang kanda sukai.Dinda izinkan kanda melakukannya.”Kemudian nabi mengambil qirbah (tempat air yang terbuat dari kulit domba) yang terletak didalam rumah, kemudian berwudlu.Selanjutnya dia mengerjakan shalat.Di waktu salat dia menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Alquran yang dibacanya.Setelah salat dia duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu.Kemudian dia mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.Kemudian datanglah Bilal untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: "Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang". Nabi menjawab: "Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis?Pada malam ini Allah SWT telah menurunkan ayat kepadaku.Selanjutnya dia berkata: "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikir dan merenungkan kandungan artinya".
     Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan Allah.Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Kaprikornus dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi.
     Dari keterangan diatas sanggup diketahui bahwa objek dzikir yaitu Allah, sedangkan objek pikir yaitu makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam.Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu, Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal mempunyai kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia mempunyai keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu sanggup dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,
تفكرافى اخلق ولاتتفكروافى اخا لق                                                                      
Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah jangan sekali-kali kau memikirkan dan merenungkan wacana zat dan hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kau tidak akan hingga dan tidak akan sanggup mencapai hakikat Zat Nya.”
     Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau membuat makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai pesan tersirat yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat dan menyaksikan iman dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman.Ucapan ini yaitu lanjutan perasaan setelah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri.Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah.Sebagai tanda pengukuhan atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.
      Pada ujung ayat ini ( “Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka” )kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon supaya dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah kami dalam melaksanakan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih

Ø  Isi Kandungan

     Pada QS. Ali-Imran ayat 190-191 di dalamnya mempunyai kandungan hukum  yaitu Allah mewajibkan kepada umatnya untuk menuntu ilmu dan memerintahkan untuk mempergunakan pikiran kita untuk merenungkan alam, langit dan bumi (yakni memahami ketetapan-ketetapan yang memperlihatkan kepada kebesaran Al-Khaliq, pengetahuan) serta pergantian siang dan malam. Yang demkian ini menjadi gejala bagi orang yang berpikir, bahwa semua ini tidaklah terjadi dengan sendirinya. Kemudian dari hasil berpikir tersebut, insan hendaknya merenungkan dan menganalisa semua yang ada di alam semesta ini, sehingga akan tercipta ilmu pengetahuan

Ø  Aspek Tarbawi

Dari ayat di atas sanggup diambil aspek tarbawinya yaitu sebagai berikut :
1. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2. Akal insan hendaknya digunakan untuk memikirkan, menganalisa, dan menafsirkan segala ciptaan Allah.
3. Dalam mencar ilmu tidak diperbolehkan memikirkan Dzat Allah, karena insan mempunyai keterbatasan dalam hal tersebut dan dikhawatirkan akan terjerumus dalam berpikir yang tidak  sesuai.
4. Jika seseorang mempunyai renungan, ia mempunyai pelajaran dalam segala perkara.
5. Hendaknya insan mempercayai bahwa semua penciptaan Alah tidak ada yang sia-sia.

BAB IV KEANEKARAGAMAN DAN DEMOKRASI
       1.      DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
Hari selesai zaman tak bakalan terjadi hingga umatku menjiplak generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, menyerupai Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam kasus pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang sanggup kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang aturan Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau aturan Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.
Secara ringkas, goresan pena ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan eksklusif oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1] Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat aturan dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan insan secara menyeluruh dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang ketika ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adab istiadat serta agama yang mayoritas di suatu negara. Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada serpihan cabang bukan pada prinsip tersebut.

Asal Usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibuat dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan masa ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan semenjak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria mempunyai beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang gres masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali yaitu Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi gres sanggup tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang darah biru Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan menentukan kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang sanggup menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir dampak dan tugas agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi yaitu pandangan gres yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya tidak mungkin menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, dia mencoba mengingatkan mereka yang mendapatkan demokrasi secara buta, tanpa menyidik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

Demokrasi Bertentangan Dengan Islam

Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh forum perwakilannya, menyerupai DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.

Disisi lain, kalau diyakini bahwa aturan kesepakatan insan yaitu lebih baik daripada aturan Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw membacakan:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)

Ady bin Hatimr.a berkata:

يارسول الله انهم لم يكونوا يعبدونهم
Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).

Maka Rasul menjawab:

اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]

Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa insan untuk masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:

Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).

Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang dihentikan melaksanakan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :

“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, menyerupai sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ menyerupai riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.

Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem hukuman yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung bunyi mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang terang diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah remaja (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang remaja yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan[4].

Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?

Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan aturan syara’ yang telah Allah swt menetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.

Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan bunyi terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya yaitu sebagai berikut :

(1) Untuk kasus yang berkaitan dengan aturan syara’, yang menjadi kriteria yaitu kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya yaitu insiden pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, dia saw menyatakan:

إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
Aku ini utusan Allah, dan saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia yaitu penolongku.” (HR Bukhari)

(2) Untuk kasus yang menyangkut keahlian, kriterianya yaitu ketepatan atau kebenarannya, bukan bunyi mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.

(3) Sedang untuk kasus teknis yang eksklusif bekerjasama dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya yaitu bunyi mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

Demokrasi: Cacat Sejak Lahir

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat semenjak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.

Plato (472-347 SM) menyampaikan bahwa liberalisasi yaitu akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”. (…mereka yaitu orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melaksanakan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya peristiwa bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah peristiwa disebabkan banyak sekali tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu gambaran negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk jawaban penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa peristiwa bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.

Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak bisa memperlihatkan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Demokrasi Ketuhanan

Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang manis walaupun ada kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil pandangan gres demokrasi namun membuang apa yang berdasarkan mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita menggunakan demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun aturan syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan menyerupai ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi saja, menyerupai orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal menyerupai ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)

Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kau memperhatikan kami”. Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun menggunakan pula kata ini dengan digumam seperti menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah ”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai olok-olokan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”. Kalau kasus pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, kemudian baggaimana pula dengan kata yang memang mempunyai pemahaman yang khas menyerupai demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.

Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)

Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang seharusnya digunakan umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]

Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak memutuskan aturan bagi manusia, kalaupun semua insan sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan aturan itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)

Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jikalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)

Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak menentukan pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini sanggup dipahami dari hadis-hadis wacana bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibai’at (diangkat) oleh umat.

Ketiga, mengangkat satu orang khalifah yaitu wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:

فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu dihentikan berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa tiba kepada kalian sementara urusan kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR. Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka yaitu Imamul Haramain.”

Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.

Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,

حكم الحاكم يرفع الخلاف
Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak memutuskan keputusan gres sejalan dengan persoalan-persoalan gres yang terjadi).

Penutup

Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya yaitu sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik eksklusif maupun tidak langsung. Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta banyak sekali pandangan gres dan peraturan yang dibawanya.

Fakta juga membuktikan kerusakan masyarakat jawaban dipakainya konsep demokrasi ini, bukan hanya di Indonesia, namun juga di AS yang menjajakan konsep ini. Allahu A’lam. (Insya Allah disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret 2013)

[1] Melvin I. Urofsky, The Root Principles of Democracy, 2

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[3] Lihat Rancangan kitab undang-undang hukum pidana BAB XVI wacana Tindak Pidana Kesusilaan (http://news.detik.com, 7/3/13)

[4] Lihat Pasal 284 KUHP

[5] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah Al Khilafah

[6] Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan

2    .       DEMOKRASI DAN SYURA DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebagian kaum muslimin mengidentikkan antara syura dan demokrasi, menganggap sama antara keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga diakui dalam sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara ringkas dan nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.

Definisi Syura

Menurut bahasa, syura mempunyai dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].

Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memperlihatkan definisi syura, diantara mereka yaitu Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara penerima syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].

Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana penerima syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].

Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya yaitu proses menelusuri pendapat para andal dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].

Dari banyak sekali definisi yang disampaikan di atas, kita sanggup mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan banyak sekali pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu kasus atau permasalahan, diuji oleh para andal yang cerdas dan berakal, supaya sanggup mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan sanggup terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].

Pensyari’atan Syura dalam Islam

Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai rujukan yaitu tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].

Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jikalau kau ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kau memperlihatkan pembayaran berdasarkan yang patut. Bertakwalah kau kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kau kerjakan“. [Al Baqarah : 233].

Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” yaitu apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya beropini hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini yaitu tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang bau tanah tanpa persetujuan yang lain. Dan dihentikan salah satu dari kedua orang bau tanah menentukan untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/635].

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Alquran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu menyerupai kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.

Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].

Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang mendapatkan (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].

Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” yaitu mereka tidak melaksanakan suatu urusan hingga mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu supaya mereka saling mendukung dengan pendapat mereka menyerupai dalam kasus peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 7/211].

Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bekerjsama syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura yaitu sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya AllahTa’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan sanggup dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta supaya dia bisa menggali pandangan gres mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain dia shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].

Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperlihatkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam banyak sekali urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.

Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.

Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan dia mendapatkan pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

Dalam perang Uhud, dia meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan dia pun menyetujuinya.

Dalam kasus lain, ketika terjadi insiden hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam kasus perang maupun yang lain.

Urgensi dan Faedah Syura

Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan aturan dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh dia mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi banyak sekali duduk kasus yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk memperlihatkan betapa syura mempunyai kedudukan yang penting dalam agama ini.

Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan pandangan gres yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-Farid hlm. 43].

Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas dia menyebutkan bahwa syura mempunyai faedah antara lain yaitu sebagai berikut :

a.        Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya memperlihatkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada dia dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika dia tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.

b.        Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,
مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ
Setiap kaum yang bermusyawarah, pasti akan dibimbing sehingga bisa melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].

c.         Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah supaya bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan supaya menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”

d.        Syura memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah dia mengenai kadar logika dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.

12 Perbedaan antara Syura dan Demokrasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia yaitu sebuah prosedur pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan serpihan dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah). Sedangkan demokrasi yaitu suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi]. Dengan demikian, yang tepat yaitu ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.

Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya yaitu syura dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :

a.          Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi sanggup didefinisikan sebagai sekumpulan insan yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat yaitu adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].

Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam mempunyai definisi yang lebih luas karena iman islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin mempunyai beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua yaitu satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].

b.        Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan banyak sekali tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.

Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan insan yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyahhlm. 25].

c.         Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka sanggup dimentahkan, demikian pula peraturan gres yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat sanggup disusun dan diterapkan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada aturan Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan memutuskan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan aturan Islam yang telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan ekspresi nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibuat sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].

d.        Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura terbatas pada permasalahan yang tidak mempunyai nash (dalil tegas) atau permasalahan yang mempunyai nash namun indikasi yang ditunjukkan mempunyai beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang mempunyai nash yang terang dan dengan indikasi aturan yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan prosedur pelaksanaan nash-nash syari’at.

Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan aturan secara terang dan berada pada aturan mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melaksanakan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].

Adapun dalam demokrasi, kewenangan DPR bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].

e.        Syura yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap banyak sekali perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan memutuskan aturan atas banyak sekali acara dan tujuan umat.

Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyahhlm. 427-428].

f.          Demokrasi mempunyai kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan anutan Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.

g.        Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan dihentikan dilanggar oleh majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.

Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya aturan yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan aturan mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].

h.        Demokrasi menganggap rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada aturan mayoritas, bunyi mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu aturan dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32].

i.          Syura bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan bunyi mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan bunyi mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32].

j.          Kriteria andal syura sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota DPR yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria andal syura, dia mengatakan, “Pertama, mempunyai logika yang tepat dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, mempunyai huruf senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak mempunyai tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33].
Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara mempunyai porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil yaitu bekerjsama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah dia untuk bermusyawarah dengan mereka yang populer akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
Hendaklah yang bersahabat denganku (dalam shaf shalat) yaitu mereka yang cerdas serta berakal” [HR. Muslim: 974].
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam [‘Umdat at-Tafsir 1/383-384].

k.         Ahli syura mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang memutuskan dan memberhentikan majelis syura bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah 112].

Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan DPR mempunyai kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.

l.          Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran dan hadits, maka andal syura wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.

Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah supaya bisa menemukan solusi yang termudah. Apabila al-Quran dan hadits telah terang menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi insan hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.

Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena dia telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan aturan dalam agama [Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].

Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi banyak sekali anutan prinsipil dalam agama Islam menyerupai penghalalan riba, zina, dan banyak sekali aturan yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.

Kesimpulannya yaitu tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibuat dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari insan yang tiba untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan kasus yang membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].

Meskipun ada persamaan antara syura dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura yaitu sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari insan yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.

Wallahu al-Muwaffiq.

Sumber rujukan :

Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
Asy Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din Muhammad ‘Atr
Fitnah ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-’Alawi asy-Syinqithi
Makalah Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi
BAB V SIFAT TERPUJI
Sikap Terpuji (Akhlakul Karimah)
Sangat penting mempunyai etika baik atau etika mulia bagi setiap manusia. Di mana pun berada, apa pun pekerjaan, kita akan di senangi oleh siapa pun. Artinya, etika menentukan baik buruknya seseorang di hadapan sesama.
 Pengertian Sikap Terpuji.
  • Akhlak terpuji ialah sikap atau sikap baik dari segi ucapan atau perbuatan yang sesuai dangan tuntunan anutan Islam dan norma aturan yang berlaku.
  • Akhlak terpuji yaitu etika yang baik, diwujudkan dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang baik sesuai dengan anutan islam. Akhlak terpuji yang ditujukan kepada Allah SWT berupa ibadah, dan kepada Rasulullah SAW dengan mengikuti ajaran-ajarannya, serta kepada sesama insan dengan selalu bersikap baik kepada sesama. (AQIDAH AKHLAQ Ahmad Abid Al-Arif )
  • Akhlak terpuji yaitu etika yang meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah SWT dan juga dalam pandangan manusia.
Dari pengertian di atas sanggup disimpulkan etika terpuji yaitu sikap atau perbuatan seorang muslim baik dari segi ucapan ataupun perbuatan yang tidak melanggar dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan ajaran-ajaran islam.

Contoh-Contoh Sikap Terpuji
1. Amanah (dapat dipercaya)
Amanah merupakan salah satu sifat terpuji yang di miliki oleh rasulullah SAW yang harus di rujukan oleh kita selaku umatnya. Sifat sanggup mendapatkan amanah artinya memberikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya tanpa di lebih-lebihkan atau di kurangi.

2.Shidiq(benar)
Shidiq juga merupakan salah satu sifat terpuji yang dimiliki Rasulullah SAW. Dalam kehidupan sehari-hari shidiq sanggup diartikan jujur. Seorang muslim harus bersikap jujur dalam setiap ucapan atau perbuatan, karena kejujuran merupakan salah satu kunci dari kesuksesan.

3.Adil
Adil yaitu memperlihatkan setiap hak kepada pemiliknya tanpa pilih sasih atau membeda-bedakan.(Prof.DR.AhmadTafsir)

Sebagai muslim yang bijak, apabila ia mempunyai posisi sebagai pemimpin, maka hendaklah ia bersikap adil dan harus berupaya sekuat tenaga untuk selalu menegakkan keadilan.

4.Memaafkan
Kita sebagai seorang muslim harus menyadari bahwa siapa pun sebagai insan pasti mengalami kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, dalam menjalani kehidupan sehari-hari hendaknya kita selalu mempunyai jiwa yang lapang dan berhati besar sehingga gampang memaafkan kesalahan-kesalahan yang di perbuat oleh orang lain.
5.Tolong-Menolong
Tiada ada insan yang sanggup hidup berdiri sendiri, tanpa memerlukan derma orang lain walaupun setinggi apapun jabatan yang dimilikinya dan sekaya apapun harta yang dipunyainya. Setiap insan yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karena itu islam sangat menganjurkan kepada umatnya supaya saling bahu-membahu dengan sesama, baik berupa materi, tenaga atau pikiran.
6.KerjaKeras
Di dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa adanya usaha, tidak ada yang bersifat bim salabim, hanya dengan membalikan telapak tangan, melaikan semuanya harus melalui proses alasannya yaitu jawaban dan itu merupakan sunnatullah.
Kesuksesan sanggup diraih dengan cara berusaha dan bekerja keras. Karna sesungguhnya Allah menyukai hambanya yang mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amal kebaikan.
7.Islah
Yang dimaksud islakh di sini yaitu perjuangan mendamaikan antara dua orang atau lebih yang bertengkar atau bermusuhan, atau mendamaikan dari hal-hal yang sanggup menjadikan peperangan dan permusuhan.
Islam diturunkan oleh Allah sebagai rahmat (kedamaian) bagi seluruh alam. Untuk itu siapa pun insan yang mengaku sebagai muslim harus selalu berusaha memancarkan rahmat, yang di antaranya sanggup berupa mendamaikan seorang insan yang sedang bertikai atau bermusuhan. karena dengan perdamaian itu akan lahir kesadaran. Dengan kesadaran ia akan mengakui segala kekhilafan dan kealpaan.
8.Silaturrahim
Istilah silaturrahim tersusun dari kata sillah (menyambung) dan rahimi (tali persaudaraan). Adapun maksudnya yaitu perjuangan untuk menyambung, mengikat, dan menjalin kasih sayang atau tali persaudaraan antara sesama manusia, terutama dangan sanak keluarga (kerabat). Manusia pertama di alam semeata ini yaitu Nabi Adam As dan Siti Hawa. Untuk itu semua insan di muka bumi ini pada hakekatnya yaitu saudara. Maka dari itu kita sebagai umat islam, marilah kita jalin silaturrahim supaya terciptanya tali persaudaraan antar sesama muslim.