Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Curhat Emak-Emak Perantau

duduk di sebuah warung sambil menunggu anak Curhat Emak-Emak Perantau

Hai membuatkan lagi di  #CHiTCHaT

Biasanya, sore-sore yang indah Ibu-ibu di kampung saya sudah duduk-duduk di sebuah warung sambil menunggu belum dewasa mereka bermain. Berkumpul dan ngobrol-ngobrol bersama tetangga sudah jadi hiburan sehari-hari bagi para emak ini. Kadang-kadang juga jadi hiburan buat saya, tapi yang niscaya saya ikut nongki-nongki di warung alasannya yakni usul Cmumut. Dia yang main, saya yang nyantap gorengan. Diet? Failed.

Bahan dialog nggak cuma seputar anak, sanggup bosanlah bila ngobrol anak melulu. Adakalanya ngobrolin suami, dari suami sendiri hingga suami tetangga. Dari suami tetangga hingga artis dan negara. Saya, lebih banyak jadi pendengar. Saya pikir kebutuhan para emak ini memang untuk didengarkan. Paling sering saya ngangguk-ngangguk di depan mereka, entah mengerti entah doyan goyang. 

Mau curhat apa aja, saya tampung. Ada juga yang curhat perihal aktivitasnya di dunia online, ada yang gres sanggup belanja online, ada yang menerima penawaran pinjaman online dan promo kartu kredit kemudian dongeng beralih ke tema-tema mistis dan horor di sekitar rumah. Sungguh lompatan dongeng yang mendadak dan tidak disangka-sangka.


Ada yang curhat sanggup teman asing di facebook, kemudian ngeluarin hapenya sambil mengajarkan saya cara main facebook. Dan saya bakalan senyum-senyum geli, “hati-hati aja Mamak anu,” dan si Mamak anu akan antusias kembali memamerkan pada saya cara ngeblock orang-orang di FB.  
“Wah, keren ya.. udah pintar.” Biasanya balasan saya memang nggak banyak.
Maka, dengan berapi-api Mamak anu atau inu akan menjelaskan pada saya 99 prinsip bermain internet yang fasih, handal dan terorganisir walau kemudian belum dewasa mereka dipanggil alasannya yakni terlupa password.

Intinya, saya mendapati diri saya nyaman-nyaman saja mendengarkan keluh kesah emak-emak kontemporer ini.

Sampai pada titik...

(Titik-titik yang...belum diisi)

Di tempat tinggal saya, kebanyakan para perantau. Khusus di warung ekskusif temporer ini, biasanya memang cuma saya yang orang orisinil Balikpapan. Selebihnya mereka tiba dari banyak sekali pulau dan wilayah di Indonesia. Sulawesi, Jawa, macam-macam. Dari sinilah muncul cerita-cerita murung nasib istri-istri perantau yang terpaksa ikut suaminya. Ada yang hingga nangis-nangis alasannya yakni nggak mau ke Kalimantan. Ada yang udah 6 tahun tapi masih nggak betah. Ada yang lelah rindu kampung halaman. Ada yang nggak mau ke Kalimantan, tapi sudah bertahun-tahun LDR—mau nggak mau nyusul suami.
Semuanya kesedihan yang normal, alami saja.
Tinggal di kota bibit unggul Balikpapan yang memang banyak pendatangnya, menciptakan saya terbiasa dengan cerita-cerita serupa.
Saya turut berempati dengan kesedihan para istri-istri ini sambil turut mendoakan biar menerima tempat tinggal yang lebih baik. Sabar saja, sambil nabung dulu, ucap saya

duduk di sebuah warung sambil menunggu anak Curhat Emak-Emak Perantau


Then...

“Disini kok panas banget sih mbak.”
-- Oh, memang di sini begini mbak. Tapi, cukup sering hujan kok. Jawab saya, biasanya disertai senyuman.
Sebagai Suku  Abarigin—(Anak Balikpapan Original.... maksa) saya memang sering kasih klarifikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan begini.

Tapi, adakalanya pertanyaan-pertanyaan itu banyak merembet kemana-mana.
“Di sini kok mahal-mahal ya? Nggak kayak di tempatku sana. Gampang. 10ribu udah cukup puas. Di sini.. haduuuhh.”
“Di sini nggak ada sungai ya? Coba bila di kampungku, ntar-ntar saya ke sungai mbak.”
“Di sini kok jalannya banyak belok ya. Kalau di Jawa itu lurus-luruuus.”
“Rambutku kering lho mbak di sini. Padahal saya kurus pas di sana.”
“Mau wisata.. pantai, pantai lagi, pantai lagi. Bosan!”
Sekali.
Dua kali.
Berkali-kali.
Seringkali.
Sabanhari.
Saya, yang biasanya tegar-tegar aja dengerin curhat orang-orang, ternyata sanggup juga pengen menyerah. Topik ‘aku merantau alasannya yakni suami’ bermetamorfosis tanding-tandingan tempat asal dengan tempat huni dan berujung kekalahan pada tempat huni.
“Alaah, di sini makanannya nggak ada yang yummy semua. Orang di sini aneh-aneh, masa’ selada air dijual di supermarket, di tempatku sana tinggal petik kasih makan kambing, terus manggil Paklek disebut Lelek. Aneh” katanya telak di depan saya.

Lha, terus saya yang orisinil sini kudu piye.

Ada pula yang keliru menyebut begini: “Di Kalimantan ini semuanya mahal. Mau kemana-mana susah, semuanya gitu-gitu aja, sawah aja nggak ada.”
(Hmm, begini ya Ibu-ibu, Balikpapan memang ada di Kalimantan. Tapi, tidak sanggup diambil kesimpulan seluruh Kalimantan sama menyerupai Balikpapan. Satu lagi, di Balikpapan ada sawah kok.)

duduk di sebuah warung sambil menunggu anak Curhat Emak-Emak Perantau

Orang yang curhat umumnya membutuhkan perasaan senasib dari lawan bicaranya. Saya galau. Nggak mungkin saya ikut menjelek-jelekkan kota saya sendiri.

Tapi, lain orang, lain pengalaman.
Seorang kenalan saya, asal Solo, pindah ke Balikpapan mengikuti kiprah suami. Awalnya ia protes, nangis juga. Tapi, lama-kelamaan justru suka dengan kota ini dibanding beberapa kota yang pernah ia huni dan nggak mau pindah lagi. Kenalan saya ini, seorang istri yang aktif mengikuti banyak sekali kegiatan. Bahkan, ia sering menerima pernghargaan dari kota kami.

Saya juga teringat seorang teman yang harus tinggal di suatu tempat terpencil. Awalnya ia menderita batin, maunya pulang terus. Setelah pulang, ia kangen luar biasa dengan tempat itu.

duduk di sebuah warung sambil menunggu anak Curhat Emak-Emak Perantau

Kesimpulan saya : namanya merantau niscaya berat, apalagi bukan pilihan kita. Segala perbedaan niscaya ada, mempelajarinya sebelum berangkat jauh lebih baik. Tapi, iya. Belum tentu juga kita eksklusif sukses beradaptasi. Karena seindah-indahnya negeri orang di sana, pastilah cinta dengan kampung halaman sendiri. Berusahalah menikmati, melaksanakan kegiatan yang disuka. Dan usahakan, jangan (terlalu napsu) memprotes kampung orang di depan orangnya langsung.
Tiap tempat punya keunikannya sendiri.

Balikpapan memang nggak punya gunung-gunung tinggi berapi macam Merapi. Suami saya (yang juga seorang kapitan eh perantau) pernah berkata: “Orang Balikpapan hiburannya apa ya? Paling ke taman, ke pantai.” Yah suamiku, begitulah. Orang bilang senang itu sederhana, bila taman-taman mini dan pantai sudah sanggup menciptakan kita bahagia, itulah yang terpenting. Karena senang itu bab dari rasa syukur.

Ngomongin suami, saya jadi ingat dialog kami beberapa waktu lampau.
“Dek, bagaimana bila kita pindah ke Malang?” tanya suami yang memang orisinil Malang.
Sekali.
Dua kali.
Berkali-kali.
Saya diam. Mau seberapa banyak pun teori dan tips merantau yang sanggup saya buat, tetap saja lebih yummy tidak dijawab dulu.


Salam,
Lidha Maul.