Makalah Ushul Fiqih
MAKALAH USHUL FIQIH
ISTISHHAB DAN KEDUDUKANNYA, ‘URF’ DAN PEMBAGIANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam aturan Islam terdapat dua ketentuan aturan yaitu aturan yang disepakati dan aturan yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa aturan yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 aturan Islam yang tidak disepakati dan salah satu beliau antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam peristilaan andal ushul, istishab berarti memutuskan aturan berdasarkan keadaan yang terjadi sebelumnya hingga ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menimbulkan aturan insiden yang ada semenjak semula tetap berlaku hingga insiden berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Di dalam penentuan aturan Islam, terdapat empat sumber utama yang dijadikan dalil syara’ dan disepakati di kalangan jumhur ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Di samping keempat dalil syara’ tersebut, terdapat dalil-dalil lain yang dikemukakan oleh sebagian ulama, seperti istihsan, mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan qaul ash-shahabi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istishab?
2. Jelaskan bentuk-bentuk istishab !
3. Apa kehujjahan istishab?
4. Kedudukan istishab ?
5. Pengertian Urf dan pembagiannya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar kita mengetahui aturan istishab, bentuk-bentuk istishab dan kehujjahan istishab.
2. Agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘Urf dan pemb
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishhab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Penggunaan secara lughawi yakni sesuai dengan kaedah istishhab yang berlaku di kalangan ulama ushul figh yang memakai istishab sebagai dalil, sebab mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di masa kemudian dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk diamalkan hingga ke masa selanjutnya.
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya aturan yang telah ada dan yang telah ditetapkan sebab suatu dalil hingga ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan memutuskan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu menyerupai keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
4. Ibn Subki memakai ungkapan “selama tidak ada hal yang patut mengubahnya.” Rumusan ini melengkapi definisi sebelumnya dari Ibn Qayyim yang hanya memakai kata “pada prinsipnya”.
stishab juga sanggup berarti melanjutkan berlakunya aturan yang telah tetap di masa lalu, diteruskan hingga yang akan tiba selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga sanggup disimpulkan bahwa istishab yakni memutuskan berlakunya suatu aturan yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah aturan tersebut.[1]
B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah beropini bahwa hak-hak yang gres timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C. Bentuk-bentuk Istishab
Menurut bentuknya Istishab terbagi atas banyak sekali bentuk antara lain sebagai berikut :
1. Istishab Bara’ah Asliah yakni terlepas dari tanggung jawab (terlepas dari suatu aturan ) hingga ada dalil yang menunjukkannya. Hukum Istishab ini menjadi hujjah.
2. Istishab Atsar yang telah ditunjuk oleh nalar dan syara’, sehingga ada dalil yang menentangnya, menyerupai tetap istri dihukumi halal, sehabis ada kesepakatan perkawinan.
3. Istishab dalil, sesuau yang kemungkinan menentangnya baik berupa takhsis, maupun nash. Istishab ini sanggup diamalkan
Para ulama ushul fiqih juga mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:
1. Istishab aturan Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya memutuskan aturan sesuatu yang bermanfaat bagi insan yakni boleh selama belum ada dalil yang memberikan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan yakni merupakan milik bersama umat insan dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, hingga ada bukti yang memberikan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka aturan kebolehan memanfaatkan hutan tersebut bermetamorfosis tidak boleh. Istishab menyerupai ini berdasarkan para andal ushul fiqih sanggup dijadikan hujjah dalam memutuskan hukum.
2. Istishab yang berdasarkan nalar dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya aturan wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus hingga adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada sebab keraguan tidak sanggup mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang mencicipi sesuatu dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) hingga kau mendengar bunyi atau mencium kedaluwarsa kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah beropini bahwa Istishab menyerupai ini sanggup dijadikan hujjah. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat menyerupai ini hanya sanggup dijadikan hujjah untuk memutuskan dan menegaskan aturan yang telah ada, dan tidak sanggup dijadikan hujjah untuk aturan yang belum ada.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang membatalkannya).
4. Istishab aturan nalar hingga adannya aturan syar’i
Maksudnya, umat insan tidak dikenakan aturan syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan aturan dan akhir hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang memilih hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab menyerupai ini diperselisihkan berdasarkan ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya sanggup menegaskan aturan yang telah ada, dan tidak sanggup memutuskan aturan yang akan datang.
5. Istishab aturan yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama wacana kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih memutuskan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut dihentikan membatalkan shalatnya, sebab adanya ijma’ yang menyampaikan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap aturan ijma’ tetap berlaku hingga adanya dalil yang memberikan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah menyampaikan orang yang melaksanakan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak mendapatkan ijma’ sebab ijma’ berdasarkan mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.[3]
D. Kehujjahan Istishhab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat wacana kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu masalah yang dihadapi:
1. Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa istishab itu sanggup menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat aturan yang timbul dari penetapan aturan yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan aturan semula, bukan untuk memutuskan suatu aturan yang baru. Dengan kata lain isthishab itu yakni menjadi hujjah untuk memutuskan berlakunya aturan yang telah ada dan menolak akibat-akibat aturan yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk memutuskan masalah yang belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam)
Bahwa istishab tidak sanggup dijadikan dalil, sebab aturan yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk memutuskan aturan yang sama pada masa kini dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan aturan pada istishab merupakan penetapan aturan tanpa dalil, sebab sekalipun suatu aturan telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan aturan itu untuk masa yang akan tiba diperlakukan dalil lain. Istishab, berdasarkan mereka bukan dalil. Karenanya memutuskan aturan yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti memutuskan suatu aturan tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah
Menyatakan bahwa istishab sanggup menjadi hujjah serta mutlak untuk memutuskan aturan yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya aturan yang telah ditetapkan itu berlaku terus, sebab diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) sanggup dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka sanggup membawa akhir kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat aturan perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari andal warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan hingga keadaannya sanggup diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada andal waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak sanggup mendapatkan warisan, wasiat, hibah dan wakaf, sebab mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum sanggup dibagi kepada andal warisnya, hingga keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, sebab penyebab adanya waris mewarisi yakni wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini yakni sebab istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak sanggup dibagi), bukan untuk mendapatkan hak atau memutuskan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).
E. Pengertian Urf
Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf berasal dari kata yang terdiri dari abjad ‘ain, ra, dan fa (عرف) yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf yakni segala sesuatu yang sudah dikenal oleh insan dikarenakan telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
Menurut andal Syara`,‘urfbermakna adat. Dengan kata lain‘urf dan budpekerti itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan insan misalnya, menyerupai jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan ijab qabul. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, contohnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak pria dan bukan anak wanita.
F. Pembagian ‘Urf
a. Urf sanggup dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘ fi’li:
1. ‘Urf qauliy
Ialah ‘urf yang berupa perkataan, menyerupai kata walad (وَلَدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak pria dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan dengan anak pria saja.
2. ‘Urf fi’li
Ialah ‘Urf yang berupa perbuatan. Contohnya menyerupai jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal berdasarkan syara’, ijab qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’ membolehkannya.
b. Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
1. ‘Urf ‘umum
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar wilayah masyarakat dalam banyak sekali wilayah yang luas. Misalnya menyerupai kebiasaan masyarakat secara umum yang memakai uang kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap orang yang memiliki kelebihan di antara masyarakat tersebut.
2. ‘Urf Khash atau khusus
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu. Contohnya menyerupai dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak yakni tidak bolehnya menikah pria dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap antara pria dan perempuan itu masih mempunyai pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara laki-lakinya yakni lebih utama, dikarenakan ijab kabul itu akan menciptakan relasi kekeluargaan lebih rapat.
c. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
1. ‘Urf Shahih
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Contohnya menyerupai tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, memakai kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi masyarakat menciptakan kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah pada program walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
2. ‘Urf Fasid
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Contohnya menyerupai tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat menakutkan lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang menyerupai inilah yang harus diberantas dan tidak sanggup dijadikan panutan. Ada pula menyerupai tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang menyerupai perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun budpekerti kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada ketika adanya event-event akbar menyerupai piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh memilih siapa pemenang ataupun yang kalah.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istishab merupakan landasan aturan yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab merupakan suatu aturan yang menganggap tetapnya status sesuatu menyerupai keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.Dalam melihat aturan istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
Sedangkan ‘Urf yakni segala sesuatu yang sudah dikenal oleh insan dikarenakan telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
‘Urf sanggup dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy. Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid.
B. Saran
Pendidik yang profesional kita harus memiliki tanggung jawab yang kita emban selama proses mengajar. Kewajiban untuk memberikan ilmu kepada orang lain harus terealisasi dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 482
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqih (Bandung; CV Pustaka Setia, 2006) hlm 252
Koto, Alauddin. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. (Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Yahya, Muhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. (Bandung : PT Al-Marif, 1986)
[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 365
[2] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqih (Bandung; CV Pustaka Setia, 2006) hlm 80-81
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 376-378
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Figh (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) hlm 389-392