Pendidikan Karakter Antikorupsi
Founder Kampus Guru Cikal, Najelaa Shihab mengatakan, pendidikan karakter antikorupsi tak cukup hanya sebatas pada kebijakan di level makro, melainkan harus menyentuh ke level mikro seperti ruang kelas dan keluarga.
Menurut dia, pendidikan yang menyentuh pada level mikro bisa lebih menghasilkan dampak signifikan meningkatkan kualitas karakter anak.
"Seolah-olah jauh lebih strategis tapi sebetulnya di level makro kebijakan, tidak mengubah perilaku nyata yang ada di ruang keluarga dan ruang kelas," kata dia dalam diskusi
" Pendidikan Karakter dalam Membentuk Generasi Indonesia yang Antikorupsi" di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Ia mencontohkan, bagaimana anak hidup dalam kebiasaan disogok orang tua, seperti anak berpuasa dijanjikan uang, belajar untuk mendapatkan sepeda, dan ibu menjanjikan permen apabila sang anak diam saat sedang arisan.
"Selalu apa pun motivasi perilakunya adalah untuk mendapatkan sesuatu. 'Oke buat aku apa?'. Enggak heran kalau setiap hari disogok di rumah pada akhirnya tumbuh menjadi orang yang disogok atau mudah menyogok," ujar dia.
"Praktik sederhana seperti ini kalau bisa kita ubah bersama-sama, itu bisa jadi sesuatu yang lebih signifikan," lanjut dia.
Kritik untuk sekolah
Kakak dari jurnalis Najwa Shihab ini juga mengkritik orientasi sekolah yang seringkali terjebak pada urusan kuantitas.
Seperti kegiatan sekolah untuk mendapatkan akreditasi, uji kompetensi guru untuk mendapat peningkatan tunjangan hingga kegiatan ekstrakulikuler untuk mendapat piala.
"Masalah lain di pendidikan yang dikuatkan terus menerus motivasi eksternal itu semuanya. Dan kemudian iming-iming itu yang kita praktikan ke anak-anak kita dari kecil sampai besar," kata dia.
"Enggak ada penumbuhan motivasi internal, seperti mandiri, menahan sikap untuk kaya secara instan, tumbuh dengan kepribadian pada saat yang lain mempraktikan korupsi, itu tidak dibiasakan," ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, kesadaran guru untuk benar-benar menerapkan pendidikan karakter kepada murid masih minim.
Ia pun mencontohkan, saat berkunjung ke ruang kelas, ia melihat poster yang memuat nilai-nilai karakter digantung begitu tinggi. Sehingga murid di dalam kelas tak bisa memerhatikan dan membaca isi poster tersebut.
"Pertanyaan saya sederhana, kenapa ya Pak Guru poster ditempel di dinding itu. Kebanyakan guru enggak tahu, 'Oh enggak tahu ya, Bu, mungkin karena ada bekas paku jadi ditempel di situ aja'. Ini jawaban yang bikin saya gelisah," kata dia.
"Enggak ada kesadaran pada saat menggiatkan pendidikan, melainkan karena terpaksa," lanjutnya.
Jangka panjang
Ia juga mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk menyusun dan menerapkan pendidikan karakter antikorupsi dalam jangka panjang.
Ia khawatir dengan kebiasaan bongkar pasang kebijakan, justru menghambat upaya mendapatkan hasil yang optimal.
"Kita tidak bisa berharap hasilnya yang instan dan ini sangat penting saat kita bicara pencegahan (korupsi) lewat pendidikan, biasa ya kalau enggak berhasil ganti strategi lagi mengharapkan hasil cepat dan sebagainya," paparnya.
Oleh karena itu, ia menekankan perubahan paradigma bahwa pendidikan karakter harus dilihat sebagai investasi jangka panjang dengan dampak yang luas dan menyeluruh, bukan upaya cepat untuk mendapatkan hasil instan.
"Pemangku kebijakan selalu melihat pendidikan itu instan, berapa nilai UN di daerah saya, nilai UKG guru, bukan itu. Kita mensimplifikasi keberhasilan dengan tuntutan instan padahal itu tidak menunjukkan keberhasilan yang sesungguhnya. Belum tentukan anak yang nilai UN-nya tinggi punya karakter antikorupsi? Enggak," kata dia.
"Yang setiap hari kita jadi patokan jadikan tujuan dan bahan pembicaran adalah tuntutan instan ini dan salah kaprah yang terus ditumbuhkan. Pendidikan karakter itu bukan cuma hari ini," ujarnya.
Sumber : https://nasional.kompas.com