Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Studi Islam Kehidupan Dan Geneologi Intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


MAKALAH STUDI ISLAM

KEHIDUPAN DAN GENEOLOGI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
(GUS DUR)


BAB II
PEMBAHASAN
A.KEHIDUPAN GUS DUR
           K.H. Abdurrahman Wahid yakni anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Ada juga yang menyampaikan ia lahir pada tanggal 4 Agustus, akan tetapi data menguatkan bahwa  Gus Dur lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940.[1]
           Dalam goresan pena Barton [2]K.H. Abdurrahman Wahid yakni anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia yakni Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri Wahid putra Hasyim. Namun demikian, sebagaimana kebiasaan orang jawa, nama tersebut hasilnya mengalami perkembangan dan berbeda dengan nama resminya.
             Kehadiran Gus Dur ini sangat membahagiakan kedua orang tuanya, sebab ia yakni anak laki-laki dan anak pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini bisa terlihat dari pertolongan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, terutama kata Ad-Dakhil terperinci merujuk dari nama hero dari Dinasti 33 Umayyah, yang secara harfiah berarti “Sang Penakluk”. Di dalam sejarah peradaban Islam, tokoh Ad-Dakhil yakni tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad (Barton, 2003: 33).
              Gus Dur yakni anak yang tumbuh dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. Kenakalan ini menjadikan ia diikat dengan tambang ke tiang bendera di halaman depan sebagai eksekusi bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan.
        Bukti kenakalan lainnya yakni ketika ia belum berusia genap dua belas tahun, ia telah dua kali mengalami patah lengan akhir kegemarannya memanjat pohon apa saja. Pertama-tama lengannya patah sebab dahan yang diinjaknya patah. Kemudian, ia hampir kehilangan tangannya. Ketika itu, ia mengambil masakan dari dapur dan kemudian memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar. Oleh dokter ia dikhawatirkan akan kehilangan tangan-tangannya ketika itu. Untungnya dokter yang menangani bergerak cepat sehingga tulang yang patah itu bisa disambung. (Barton, 2003: 38).
Sejak kecil, Gus Dur gemar membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi     ayahnya.
Abdurrahman Wahid yang sering dipanggil Gus Dur yakni putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Desember 1940.[3] Ayahnya, K.H Wahid Hasyim yakni putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)–organisasi Islam terbesar di Indonesia–dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah yakni putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, yaitu K.H. Bisri Syamsuri.[4] K.H. Bisri Syamsuri merupakan tokoh NU yang menjadi Rais Aam Pengurus Besar (PB) NU sehabis K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua orang utama NU dan tokoh bangsa.
Ketika menapak usia yang masih tergolong anak-anak, Gus Dur sering dijuluki Abdurrahman al-Dakhil. Gus Dur tidak ibarat kebanyakan bawah umur seusianya. Ia tidak menentukan tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya.[5] Pada ketika serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir pulang kampung di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayahnya, K.H. Wahid Hasyim dilantik menjadi Menteri Agama Republik Indonesia sehingga mereka harus bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya Gus Dur cilik akrab dengan dunia politik yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering mangkal di rumah mereka. Lagi pula, Gus Dur sendiri yakni seorang bocah yang tergolong sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Tidak heran, berdasarkan ratifikasi ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “sejak usia lima tahun, beliau sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, yakni ayahnya sendiri.”[6]
Selain membaca buku, kegemaran Gus Dur lainnya yakni main bola, catur, musik dan nonton film. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar dibacanya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, kisah silat hingga fiksi sastra, tidak sedikitpun ia lewatkan. Sementara perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang laki-laki Jerman berjulukan Iskandar (Willem Buhl).
Pada usia dua belas tahun, ia telah menjadi yatim. Pada bulan April 1953,[7]11 Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai kendaraan beroda empat ke tempat Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di pegunungan antar Cimahi dan Bandung, mobilnya kecelakaan. Gus Dur sanggup diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa efek tersendiri dalam kehidupannya.
 Masa cukup umur Gus Dur sebagian besar sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di tempat-tempat inilah ia mulai membuatkan ilmunya. Ia banyak membaca buku ibarat Das Kapital Karl Max, filsafat Plato, Thalles, dan novel William Bochner. Masa berikutnya, Gus Dur melanjutkan nyantrinya di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Setelah menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustad dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar. Terdapat kondisi yang menguntungkan ketika ia berada di Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo pada waktu itu mengalami masa keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat menerima proteksi yang cukup.
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang mempunyai peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak, ia masuk Departement of Religion di Universitas Baghdad hingga tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di sana ia menerima rangsangan intelektual yang tidak ia dapatkan di Mesir. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada.
Kegiatannya di luar kampus yakni mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah. Ia juga mendalami fatwa Junaid al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Selanjutnya, Gus Dur melaksanakan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya, ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian keislaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia pulang ke Indonesia sehabis terilhami informasi yang menarik seputar perkembangan pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir tahun 1971.
Adapun perjalanan karir Gus Dur dimulai dari sebagai sekretaris di Pesantern Tebu Ireng. Selanjutnya, ia terlibat dalam acara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren. Pada tahun 1979, Gus Dur hijrah ke Jakarta dan merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980, ia dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU, dan Gus Dur semakin serius menulis dalam bidang budaya, politik, maupun pemikiran Islam. Pada tahun 1983, ia menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI). Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Posisi tersebut dikukuhkan pada muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Beliau pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, yaitu sebagai presiden Republik Indonesia.




BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG GUS DURG( atau nama kecilnya Abdurrahman ad-Dakhil,)
 lahir di Jombang pada 4 Sya‟ban atau 7 September 1940 di Denanyar dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakeknya dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syansuri.
1.Dari garis ayah,
ia yakni cucu Hadratusy Syekh K.H. Hasyim Asy‟ari, sedangkan dari garis ibu, ia yakni cucu K.H.Bisri Syansuri.Dengan demikian, nasabnya baik dari garis bapak maupun ibu yakni keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
        Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang
        kental di bawah naungan keluarga ulama. Menurut ratifikasi ibunya, semenjak usia 5 tahun ia sudah lancar membaca.3 Pada tahun 1955, ia melanjutkan sekolah ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Gowangan, Yogyakarta. Untuk menambah pengetahuan agama, ia mencar ilmu 3 kali dalam seminggu di Pesantren Krapyak yang letaknya sedikit di luar kota Yogyakarta. Di sini ia mencar ilmu bahasa Arab kepada K.H. Ali Ma‟sum, seorang kiai yang dikenal egaliter. Di pesantren ini kegemaran Gus Dur terhadap buku semakin meningkat. Karena kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang dimiliki cukup baik, maka ketika Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 447 usia 15 tahun ia sudah banyak bersentuhan dengan pemikiran sosialisme Karl Marx, filsafat Plato, Talles, novel-novel William Bochner, dan buku-buku lain yang dipinjam dari perpustakaan dan guru-guru yang ada di SMEP Yogyakarta. Sebenarnya di SMEP pada tahun pertama ia bukan termasuk siswa yang cemerlang, bahkan ia terpaksa mengulang kelas sebab gagal dalam ujian. Kegagalan ini bukan sebab kebodohan, tetapi sebab seringnya ia menonton pertandingan sepak bola, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk mengerjakan kiprah sekolah.4 Karena pelajaran yang diterima di kelas dianggap kurang menantang, maka ia merasa bosan dan lebih banyak membaca buku-buku di luar pelajaran. Ia juga masih dalam suasana murung sebab kehilangan ayah tercinta. Setelah tamat dari SMEP pada pertengahan tahun 1957 ia melanjutkan mencar ilmu di Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan K.H. Khudhori yang merupakan tokoh NU di daerahnya. Di Tegalrejo ini pula Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku Barat. Pada tahun 1959, Gus Dur pulang ke kampung halaman, Jombang, untuk mencar ilmu secara lebih serius di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan K.H. Wahab Hasbullah. Selama mencar ilmu di pesantren ini, ia dipercaya untuk ikut mengajar dan menjadi kepala sekolahnya. Selama nyantri di Tambak Beras ia juga masih rajin bersilaturahmi ke Krapyak, ke kediaman K.H. Ali Ma‟sum. Pada masa inilah, antara selesai tahun 1950-an hingga 1963, Gus Dur mendalami studi wacana Islam dan sastra klasik. Ia dikenal sebagai santri cemerlang. Studi ini tergantung dengan daya ingatan yang memang telah dimiliki oleh Gus Dur, walaupun ia juga dikenal sebagai sosok yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya.
             Pada tahun 1960, Gus Dur menerima kesempatan mencar ilmu ke
           Universitas al-Azhar Mesir melalui beasiswa dari Departemen Agama. Ketika itu usia Gus Dur 23 tahun. Pada tahun 1960-an Mesir yakni kota tempat menuntut ilmu bagi para pelajar Muslim Indonesia. Universitas al-Azhar yakni universitas tertua di dunia yang sudah berusia ribuan tahun. Universitas ini berabad-abad lebih Inklusivutas Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid tua daripada Oxford, Cambridge, Sorbonne, dan universitas-universitas bau tanah lainnya di Eropa. Al-Azhar yakni juga sentra dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang perintis modernisasi Islam, ide-ide pembaruannya diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang mencar ilmu di Universitas al-Azhar. Setelah berdiam selama satu tahun di Mesir, Gus Dur menerima pekerjaan tetap di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sebagai pemimpin mahasiswa yang cemerlang dan kemampuan bahasa yang baik, maka ia diharapkan kedutaan besar. Ia pun bekerja setiap hari, dan dari pekerjaannya ia bisa menambah pendapatan dari beasiswa yang diterimanya untuk membeli buku, menonton film, dan keperluan lainnya. Melalui pekerjaannya ini Gus Dur menerima kesempatan untuk bergaul dengan banyak kalangan serta banyak menerima berita-berita terbaru dari Indonesia.
    Namun, sehabis 7 tahun di Mesir ia merasa tidak betah, sebab menurutnya ilmu yang dipelajari sama dengan apa yang didapat di pesantren di Indonesia. Akhirnya ia pindah ke Bagdad, kota seribu satu malam, untuk melanjutkan studi pada Fakultas Sastra. Di Universitas Bagdad inilah ia bisa membuatkan pemikiran intelektualnya. Ia bisa membaca banyak karya peneliti besar ibarat Emile Durkheim dan para peneliti Barat lainnya. Di universitas ini pula ia diminta untuk menulis asal undangan Islam di Indonesia.5 Selama dua tahun di Bagdad, Gus Dur memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Indonesia. Dosen-dosennya memperlihatkan izin untuk menulis mengenai Islam di Indonesia. Ia kemudian banyak membaca literatur wacana Islam dan Indonesia yang ternyata banyak ditemukan di perpustakaan di Bagdad, baik yang ditulis para Orientalis maupun oleh orang Indonesia sendiri. Dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, Gus Dur berhasil menuntaskan penelitiannya dengan baik.
 Selama di Bagdad Gus Dur banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran kritis, baik dari ilmuwan Muslim maupun non-Muslim. Ia sangat mengagumi Paul Tillich, seorang teolog Katolik yang masyhur, renungan filsafat Muhammad Abduh, dan pemikiran Hassan Hanafi, pemikir Islam yang dianggap kekiri-kirian. Di antara pemikir tersebut, yang paling dihormati yakni Mohamed Arkoun, yang mencoba melihat Islam secara utuh. Di samping itu, dalam bidang tasawuf, Gus Dur juga sangat mengagumi al-Gazali, melalui karya monumentalnya Ihya‟ „Ulum ad-Din. Setamat studi di Bagdad, ia pun pindah ke Eropa. Mula-mula ia tinggal di Belanda untuk mendapatkan kesempatan mencar ilmu di pascasarjana di bidang perbandingan agama. Akan tetapi, sehabis keliling di Universitas Leiden dan universitas lainnya, ternyata hasil mencar ilmu di Bagdad tidak menerima ratifikasi di Eropa, dan mensyaratkan ia harus mengambil strata sarjana lagi. Karena kecewa, hasilnya pada pertengahan 1971 Gus Dur kembali ke tanah air. Sepulang dari Eropa pada pertengahan tahun 1971, Gus Dur kembali ke pesantren. Ia kemudian diminta oleh yayasan keluarga untuk menjadi Dekan pada Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang hingga tahun 1974. Tahun 1976 ia banyak diminta untuk menjadi tenaga konsultan di beberapa departemen dan instansi, antara lain Departemen Koperasi, Departemen Agama, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1983 ia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1984 ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1986, ia dipercaya menjadi Ketua Festival Film Indonesia (FFI) dan anggota Dewan Pers Nasional. Pada Muktamar NU Ke-19 di Krapyak, Yogyakarta, ia kembali terpilih menjadi Ketua Umum PBNU untuk yang kedua kalinya. Kemudian pada Muktamar NU Ke-20 di Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 1995, ia terpilih untuk yang ketiga kalinya sebagai Ketua Umum PBNU sehabis mengalahkan Abu Hasan yang didukung oleh pemerintahan Soeharto. Inklusivutas Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid 450 Copyright @ 2016, KALAM, p-ISSN: 0853-9510, e-ISSN: 2540-7759
Gus Dur juga sering menjadi narasumber dalam seminar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sebagai tokoh LSM, ia sering tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di lembaga internasional semacam Acford di Bangkok. Ia juga pernah menghadiri komisi obrolan dengan NOVIB wacana hak-hak asasi manusia. Sebagai pemikir nasional dan internasional, ia sering menerima penghargaan bergengsi, ibarat dinobatkan media massa sebagai “Tokoh 1999” newsmaker sehingga menjadi tokoh 1999. Dan, pada Maret 1999, ia diprediksikan sebagai kingmaker untuk Indonesia masa depan oleh sebuah majalah Singapura. Pada 13 Agustus 1993, Gus Dur bersama 4 warga Asia lainnya (Noburu Imamuru dari Jepang, Bano Coyaji dari India, Vo-Tong Xuan dari Vietnam, dan Brienvinido Lumberra dari Filipina) mendapatkan hadiah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan berdasarkan keterlibatannya yang besar dalam upaya menumbuhkan toleransi agama di Indonesia. Pada 9 November 1994, Konferensi Sedunia Tentang Agama dan Kemanusian (World Conference on Relegion and Peace) yang bertempat di Rivadel Garda, Italia utara memutus-kan mengangkat Gus Dur sebagai salah satu presidennya.6 Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta sehabis dirawat beberapa hari sebab sakit dan dimakam-kan di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Tawa Timur. Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun, dengan meninggalkan satu orang istri, Sinta Nuriyah, dan 4 orang putri, Alissa Qotrunada Munawaroh (Lissa), Zanuba Arifah Khafsoh (Yenny), Anita Hayyatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari .
Kepulangan Gus Dur menyisakan murung yang mendalam bagi bangsa Indonesia, sebab kehilangan tokoh agama, pejuang demokrasi, pemimpin politik, pembela kaum minoritas, pengusung hak asasi, hero pluralisme, penganjur perdamaian, dan penentang kekerasan. Semua karyanya dijalaninya dengan sepenuh hati sebagai panggilan hidup, sekaligus sebagai perwujudan keyakinan dan nuraninya. Dalam memperjuangkan prinsip hidup, Gus Dur tidak pernah ragu-ragu, tegas, tanpa kehilangan rasa humor yang tertinggi. Ia dikenal sebagai sosok yang humoris Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 451
dengan ucapanya yang sangat populer “gitu aja kok repot”. Kini bangsa Indonesia kehilangan sosok pemersatu dan pembela kaum minoritas. Selamat jalan, Gus Dur, tenang bersama-Nya, biar anak bangsa mau mencar ilmu dengan ketokohanmu.




2. Geneologi Intelektual Gus Dur
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil mencar ilmu pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an.
ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.[8]
           Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan bukubuku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur sanggup menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada ketika yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang gampang diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia menciptakan kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin wacana keterlibatan sosial secara radikal, ibarat dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.[9]
   tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren
ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan
   guru yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus
          Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual
      mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai
      mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus
Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah
bimbingan KH. Wahab Chasbullah




B.RUMUSAN MASALAH
   a.bagaimana kehidupan abdurrahman wahid?
         b.bagaimana perjalanan kehidupan abdurrahman wahid?
         c.siapa saja orang-orang tempat ambdurrahman wahid belajar?
 
C.TUJUAN
   a.untuk mengetahui geologi kehidupan abdurrahman wahid!
   b.mengetahui perjalanan abdyrrahman wahid!
   c.mempelajari kehidupan abdurrahman wahid!


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur sanggup dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.
B. SARAN
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT sebab dengan rahmat dan karunia-Nyalah pemakalah sanggup menuntaskan pembuatan makalah PPMDI, meskipun di dalamnya banyak kekurangan dan kesalahan baik segi penulisan, pengetikan, redaksionalnya, sebab kami percaya bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah, oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami perlukan dari pembaca. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.


  
                                                         


DAFTAR PUSTAKA

1. Martin van Bruinessen , Triditionalist Muslim Movement in a  Modern-izing Worl. The Nahdatul Ulama and Indonesia’ s New Order.
2. Aziz Ahmad , Islamic Modernism in India and pakistan, 1857-1964, London, 1967.
3. Mona Abaza, Islamic Education, perception and Exchanges: Indonesian student in Cairo (paris: cahier d’Archipel, 23 1994).
4. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, Singapore: Oxford UniversityPress, 1973.
5. M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam politik (Jakarta: Gramedia, 1994).
6. Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, London & New York: Kegan Paul International, 1990, 13.
Fazlur Rahman, “Islam: Past  Inffluence and present Challenge” dalam Islam: Challenges
7. and opportunities (Edinburg Press, 1979).



KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dikarenakan telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya..
Kami berharap biar makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.



DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………….……i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG…………………………………………………...…1
B.RUMUSAN MASALAH……………………………………………………6
C.TUJUAN……………………………………………………………………..6
BAB II
PEMBAHASAN
Kehidupaan Gus Dur……………………………………………………..…….7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………………………11
B. SARAN………………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....12













iii



[1]  (Rifai, 2013: 27)
[2]  (Barton, 2003: 22)
[3]Dedy Jamaluddin Malik dan Idy Suhendy Ibrahim, Zaman Baru Pemikiran Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik,
[4]Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Glence: Free Press, 1960).
[5]Kompas, (3 Desember 1989).
[6]Editor, (22 Desember 1990), h. 8.
[7]Dalam karya Malik dan Suhendy, Zaman Baru Pemikiran Islam, h. 80, disebut pada tahun 1955, bukan tahun 1953.

[8] Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25
[9] Ibid, hlm. 56.