Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Fitrah


MAKALAH FITRAH 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia. Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah insan dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan insan semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya insan tersebut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.1 Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan semenjak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan struktur alamiah insan semenjak awal kelahirannya telah mempunyai agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan insan tetapi juga dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna. Makalah ini akan membahas diskursus ihwal fitrah insan dalam al Qur‟an, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun .

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Fitrah?
2.      Apa saja jenis-jenis fitrah?
3.      Apa saja konsep fitrah?
4.      Apa hubungan fitrah dalam pendidikan?
      C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian fitrah.
2.      Untuk mengetahui jenis fitrah.
3.      Untuk mengetahui konsep fitrah.
4.      Untuk mengetahui fitrah dalam pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian fitrah
           Secara bahasa, Fitrah berasal dari akar kata f-t-r (fa-tho-ro) dalam bahasa Arab (فطرة) yang berarti “membuka” atau “menguak”, juga berarti perangai, tabiat, kejadian, asli,agama,ciptaan.
Fitrah juga mempunyai makna “asal kejadian”, “keadaan yang suci”, dan “kembali ke asal”. Maka, Idul Fitri sering dimaknai sebagai "kembali ke keadaan suci tanpa dosa".
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.
                      Fitrah insan secara religius ialah beriman Islam. Tegasnya, fitrah atau keadaan jiwa (ruh) orisinil umat insan ialah mengakui ketuhanan Allah Swt (QS. Al-A'raf:172), meyakini syariat Islam, dan siap serta bisa mengamalkannya. Hanya hawa nafsu dan ketidaktahuan (jahil) yang membuat seseorang tidak beriman Islam atau merasa berat mengamalkan syariat Islam.
                      Dalam pandangan para mufasir, kata fitrah dalam al-Qur'an terdapat pada 19 ayat. Namun dari sekian banyak ayat al-Qur'an, hanya surat al-Rûm ayat 30 lah yang secara sarih menyebutkan kata fitrah. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui.

Menurut Imam Bukhari, fitrah insan itu tidak lain ialah Islam,
 dalam hadis Nabi:                                                            
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَنِه وَيُنَصِّرَنِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “ Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah).Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Kristen atau Majusi”.(H.R.  Bukhari)
Dari makna hadis diatas memperlihatkan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin sepakat kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin jelek penempatan fitrah seseorang maka akan semakin jelek sifat dan tingkah lakunya. Pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final
Berdasarkan uraian diatas, sanggup diketahui bahwa  fitrah insan merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada insan semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan kiprah dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt. 
B.     Jenis-jenis fitrah
a.       Fitrah Agama, Manusia semenjak lahir mempunyai naluri atau insting yang beragama, dan mengakui adanya dzat Allah, namun ketika ia lahir cendrung pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak Allah..
b.      Fitrah Intelek, Intelek ialah potensi bawaan insan untuk memperoleh pengetahuan yang sanggup membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena daya dan fitrah ini sampai sanggup membedakan antara insan dan hewan.
c.       Fitrah Sosial, kecendrungan insan untuk hidup berkelompok yang mempunyai ciri khas yang disebut kebudayaan. Oleh sebab itu kiprah pendidikan disini ialah menjadikan kebudayaan islam sebagai proses kurikulum pendidikan islam dalam seluruh peringkat dan tahapan.
d.      Fitrah seni, Kemampuan insan untuk menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al-jamal Allah swt. Tugas utama pendidikan memperlihatkan suasana gembira, senang, dan aman dalam proses berguru mengajar, sebab pendidikan ialah proses kesenian, yang kesannya dibutuhkan seni mendidik.
e.       Fitarh kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainya. Semua kebutuhan kehidupan manusai merupakan fitrah yang menuntut untuk dipenuhi,. Sayyid Quthub mengemukakan kebutuhan pokok insan terbagi menjadi empat macam, yaitu:
 (1) Kebutuhan hati nurani setiap insan untuk memperoleh kepuasan, ketentraman, dan ketenangan.
(2). Kebutuhan nalar pikiran, setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan, dam kepastian.
 (3). Kebutuhan prasaan setiap insan sanggup memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang, dan perdamaian.
 (4). Kebutuhan hak dan kewajibansetiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban dan keadilan. Sesungguhnya badan insan terdiri dari dua jenis, yaitu: Tubuh berangasan dan badan halus, atau jasmani/fisik dan ruhani/ruh. Manusia tanpa jasmani belum bisa dikatakan manusia, demikian dengan insan tanpa ruh tidak sanggup dikatakan insan hidup.Jasmani insan berasal dari materi tanah, sedangkan ruh insan berasal dari Tuhan semesta alam (Allah)
C.    Konsep ihwal fitrah
                      Rasulullah SAW bersabda : “Anak-anak lahir dalam keadaan fithrah, orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Bukhari) Menurut Yasien Muhammad, pemahaman terhadap konsep fithrah ini ada empat, yaitu pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis.
a.        Pandangan Fatalis Dalam pandangan fatalis ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah, ialah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Syaikh Abdul Qadir Jailani mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan masuk nirwana kalau hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan Allah sebelumnya. Dengan demikian, tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak Allah untuk menjalani „cetak biru‟ kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.
b.       Pandangan Netral Pandangan netral ini dikomandani oleh Ibnu „Abd al-Barr dengan mendasarkan pada firman Allah : “Dan Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun” (QS. an-Nahl ayat: 78) Penganut pandangan netral beropini bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan keyakinan atau kufur. Menurut pandangan netral, keyakinan atau kufur hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.        Pandangan Positif Penganut pandangan positif ini ialah Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim alJauziyah (salaf), Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mufti Muhammad Syafi‟i, Ismail Raji al-Faruqi, Mohamad Asad, Syah Waliyullah (kontemporer). Menurut Ibnu Taimiyah, semua anak terlahir dalam keadaan fithrah, yaitu dalam keadaan kebajikan bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menimbulkan individu menyimpang dari keadaan ini. Muhammad „Ali AshShabuni menyampaikan bahwa kebaikan menyatu pada manusia, sementara kejahatan bersifat aksidental. Manusia secara alamiah cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Akan tetapi, lingkungan-lingkungan sosial, terutama orangtua, bisa mempunyai imbas merusak terhadap fithrah anak. Ibnu Taimiyah beropini bahwa terdapat suatu kesesuaian alamiah antara fithrah dan dien Islam. Agama Islam menyediakan kondisi ideal untuk mempertahankan dan menyediakan kondisi ideal untuk mempertahankan dan menyebarkan sifat-sifat bawaan manusia.
d.       Pandangan Dualis Tokoh utama pandangan dualis ialah Sayyid Quthb dan „Ali Shari‟ati. Pandangan suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Sayyid Quthb, dua unsur pembentuk esensial dari struktur insan secara menyeluruh, yaitu ruh dan tanah, menimbulkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk tersesat. Kebaikan yang ada dalam diri insan dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal menyerupai kenabian dan wahyu Tuhan sementara kejahatan yang ada dalam diri insan dilengkapi faktor eksternal menyerupai godaan dan kesesatan. Shari‟ati berpandangan bahwa tanah-simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan Ruh (dari) Allah. Dengan demikian, insan ialah makhluk berdimensi ganda dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tapi juga berlawanan. Yang satu cenderung turun kepada materi dan yang lain cenderung naik kepada Ruh Suci (ciptaan) Allah.







D.    Hubungan antara fitra insan dan pendidikan
            Bahwa insan diciptakan Allah swt sebagai peserta dan pelaksana anutan Allah dan mempunyai kiprah pokok yaitu di samping untuk li ta’abbudi ila Allah menyembah Khaliknya juga bertugas selaku Khalifatu fi al-Ardl. Untuk itu Allah tidak membiarkan insan begitu saja tanpa bekal yang memadai, tetapi Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya memperlihatkan anugerah yang sangat tinggi nilainya, yaitu aneka macam kemampuan atau potensi yang memungkinkan insan bisa memikul tanggung jawab tersebut.
Sejak lahir insan telah dibekali dengan potensi-potensi atau alat serta kemampuan yang akan menjadi kekuatan untuk bertahan hidup di dunia ini maupun untuk mencapai kebahagiaan yang kekal yakni kehidupan akhirat. Karenanya, fithrah itu harus berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan eksternal.
Untuk bisa berdialog memerlukan suatu forum yang lebih aman untuk mengaktualisasikan serta menumbuh kembangkan fithrahnya. Maka pendidikan merupakan forum yang paling strategis untuk mengarahkan fithrah itu secara optimal dan terpadu sepanjang hayatnya. Konsep fithrah juga menuntut semoga pendidikan harus bertujuan mengarahkan pendidikan kepada terjalinnya ikatan besar lengan berkuasa seorang insan dengan Allah.
Hal ini mengisyaratkan kiprah pendidikan sangat menentukan dalam kehidupan manusia, sebab dengan pendidikan insan akan mengetahui mana yang baik mana yang buruk, serta mengetahui yang benar dan yang salah, tanpa pengetahuan insan tidak akan bisa memahami apa bantu-membantu arti hidup di dunia ini sebab intinya insan dilahirkan di dunia ini masih bersifat suci, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya belum mengetahui suatu apapun dalam arti bahwa ia belum mumayyiz (belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk)
Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai suatu ikhtiar yang sangat menentukan dalam menjaga semoga insan tetap berada pada fithrah-nya baik fithrah atas legalisasi terhadap Tuhannya, fithrah agama yang hanif serta segenap potensi yang ada pada dirinya. semoga tidak menyimpang dari garis kodrat yang telah ditentukan, mengingat anak itu berada pada kehidupan yang serba dinamis dan dalam pertumbuhannya sering menerima imbas positif maupun negatif.




E.      Fitrah Manusia dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
                        Menurut Hasan Langgulung, fitrah ialah potensi yang baik. Haditsh yang bermakna“Setiap bawah umur dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang menimbulkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna bahwa insan itu menjadi hamba kepada lingkungan, menyerupai pendapat ahli-ahli behaviorisme. Fitrah ialah sifat-sifat Tuhan yang ditiupkan Tuhan kepada semua insan sebelum lahir, dan pengembangan sifat-sifat itu setinggitingginya. Senada dengan hal ini, berdasarkan Dr. Jalaluddin, insan mempunyai beberapa potensi utama yang secara fitrah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu :
a.        Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah) Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah) Yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan setiap manusia. Diantara dorongan tersebut berupa instink untuk memelihara diri, menyerupai makan, minum, adaptasi badan terhadap lingkungan dan sebagainya.
b.      Hidayatu al-Hassiyat (potensi inderawi) Hidayatu al-Hassiyat (potensi inderawi) Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang insan untuk saling mengenal sesuatu diluar dari dirinya. Melaui alat indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, peraba dan lainlain
c.        Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal) Potensi nalar memberi kemampuan pada insan untuk memahami simbolsimbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan sanggup menentukan hal yang benar atau salah. Akal juga sanggup mendorong insan berkreasi dan berinovasi dalam membuat kebudayaan serta peradaban.
d.      Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan) Pada diri insan sudah ada dorongan keagamaan yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang membuat alam semesta beserta isinya. (Jalaluddin, 2001) Implikasi lainnya ialah pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu pada tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk membuat hubungan yang mengikatmanusia dengan Allah Swt. Apasaja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Untuk itu kurikulum pendidikan Islam harus menekankan pada konsep tauhid ini.

                             Bagaimana cara menyebarkan potensi-potensi (fitrah) ini dalam pendidikan Islam, berdasarkan Dr. Jalaluddin sanggup dilakukan dengan aneka macam cara dan pendekatan yaitu :
a.        Pendekatan Filosofis Pendekatan ini mengacu pada hakikat penciptaan insan itu sendiri yaitu sebagai makhluk ciptaan Allah (Q.S. 51:56). Dalam filsafat pendidikan Islam nilai-nilai ilahiyat merupakan nilai-nilai yang mengandung kebenaran hakiki. Berasarkan hal ini, pengembangan potensi insan diarahkan untuk memenuhi balasan yang mengacu pada permasalahan yang menyangkut dedikasi kepada Allah. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambarkan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai watak yang terkandung didalamnya serta bisa diimplementasikan dalam perilaku dan prilaku, lahiriah maupun batiniah. Kesadaran menyerupai ini timbul atas dorongan dari dalam bukan atas imbas luar.
b.      Pendekatan kronologi Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis yaitu pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui tahapan-tahapan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang evolutif. Disadari bahwa insan bukan makhluk siap jadi, yakni sehabis lahir pribadi menjadi dewasa. Manusia ialah makhluk yang berkembang secara evolusi. Namun bukan dalam arti evolusi dari teori Darwin yang mengidentifikasikan insan berasal dari genus yang sama dengan simpanse. Dalam hal ini ialah insan semenjak lahir menginjak dewasa, perkembangan insan melalui periodisasi.
c.       Pendekatan fungsional Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada insan tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Tuhan sebagai Pencipta, mustahilmenciptakan sesuatu tanpa tujuan, sampai terkesan mengadakan sesuatu yang sia-sia. Semua yang diciptakannya mempunyai tujuan, termasuk yang berkaitan dengan penciptaan potensi manusia. Melalui pendekatan fungsional, dimaksudkan bahwa pengembangan potensi insan dilihat dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi potensi itu masing-masing. Dorongan naluriah, menyerupai makan dan minum dikembangkan dengan tujuan semoga insan sanggup memlihara kelanjutan hidup manusia. Dengan memakai pendekatan ini dibutuhkan semoga arah perkembangan potensi yang ada pada insan tidak menjadi sia-sia. Dan kaitannya dengan fungsi insan sebagai mengabdi (menyembah) Allah dengan setia dan ikhlas.
d.      Pendekatan sosial Manusia pada konsep al-Nas lebih ditekankan pada statusnya sebagai makhluk sosial. Berdasarkan pendekatan ini, insan dilihat sebagai makhluk yang mempunyai dorongan untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat. Melalui pendekatan sosial, peserta didik dibina dan dibimbing sehingga potensi yang dimilikinya, yaitu sebagai makhluk sosial, sanggup tersalur dan sekaligus terarah pada nilai-nilai yang positif.



   



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa  fitrah insan merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada insan semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan kiprah dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt.  Jenis fitrah yaitu fitrah agama, fitrah intelek, fitrah seni, dan fitrah sosial , pemahaman terhadap konsep fithrah ini ada empat, yaitu pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis

B.       Kritik dan saran
Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dengan kata sempurna. Akan tetapi bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar keinginan yang terpendam dalam hati semoga makalah ini sanggup memperlihatkan sumbangsi pada suatu ketika terhadap makalah tema yang sama. Dan sanggup menjadi rujukan bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua selaku pelajar.













DAFTAR PUSTAKA

 Arifin, H. M. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
 Arifin, M. (1993). Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritik dan Praktis.
             Jakarta: Bumi Aksara.
 Arikunto, S. (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
 Depdikbud. (1996). Dedaktif Metodik Umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan
            Dasar.
 Drajat, Z. (2001). Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
 Fay, B. (2002). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer (Cet I ed.). Yogyakarta: Jendela