Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Buku] Jangan Sebut Saya Gila


Judul: Jangan Sebut Aku Gila – Bagaimana Memaknai Kehidupan?
Penulis : dr. Andri, SpKJ
Penerbit : MEDDIKPUBLISHING
Tahun terbit : 2010

Dengan kacamata seorang psikiater, saya melihat kondisi lingkungan masyarakat bagaikan seorang pasien dengan segala fenomena dan problematikanya. Selalu saja ada yang menggelitik saya untuk menulis fenomena dan problem kehidupan itu, walaupun kadang merasa gemas sendiri lantaran hanya bisa merangkai kata tanpa bisa berbuat lebih jauh lagi.
- dr. Andri, SpKJ

_____________________________________

Tidak seharusnya saya berlama-lama menuntaskan buku ini. Tapi saya bukan orang yang suka melumat buku terburu-buru dan waktu untuk menikmati sebuah buku tidaklah sebanyak dulu. Buku ini saya peroleh sebagai hadiah dari event giveaway "Orang dengan Gangguan Jiwa" yang diadakan mbak Liza Fathia atas goresan pena saya: Tribute to My Uncle. Sumber tulisannya bisa dibaca: disini. Saya mempunyai paman dengan gangguan jiwa yang kini sudah tiada. Mengakui ini bukan hal memalukan buat saya. Bukan pula kejahatan. Saya menghormatinya dan besar hati bisa mengenalnya.

Jangan Sebut Aku Gila, karya dr. Andri, SpKJ berisi sekumpulan tulisannya perihal bagaimana memaknai kehidupan?

Ada sekitar 40 artikel di dalam buku ini, 38 diantaranya tersebar di lima serpihan. Penyebutan serpihan ini ialah cara dr. Andri untuk mengklasifikasikan tulisannya. Lima serpihan itu yaitu; Hidup Itu Indah; Kita, Anak dan Keluarga; Masyarakat dan Kita; Penyakit Kehidupan; dan Memaknai Kehidupan. Dari lima serpihan ini pula kita sanggup melihat kemampuan dr.Andri menyoroti kehidupan, memahami contoh pikir manusia, mendalami sisi kemanusiaannya, perkembangan yang terjadi, situasi terkini dan segala hal yang terindera olehnya.

Dr.Andri mengajak kita berkelana menuju para wanita yang menolak tubuhnya ketika badan itu berkembang menjadi gemuk dan mengapa kecantikan begitu dielukan. Mengajak pembaca turut mengembara ke sisi emosi manusia, memahami kekerabatan sebab-akibat antara orangtua dan anak, bahkan sentilan untuk “Busway” pun tak lepas dari pengamatan penulis. Dari komoditas seks dan narkoba hingga perdagangan manusia. Mengapa obsesi muncul pada diri manusia? Mengapa stres begitu ditakuti? Dari kecemasan Ujian Nasional hingga kecemasan calon anggota dewan. Fenomena artis pun tak luput dari perhatiannya. Rasanya semua topik benar-benar diangkat penulis yang seorang psikiater lewat buku ini. Termasuk juga reviewnya perihal manfaat membaca dan menulis.

Membaca buku ini serasa menyusuri  sebuah kereta yang bergerak. Tiap gerbongnya berisi sosok-sosok insan dengan segala kompleksitas permasalahannya, dari jendelanya bisa terlihat rentetan insiden dan sikap alam. Perjalanan panjang sebuah kereta yang akan berputar kembali sesuai rute yang sama. Melalui kacamata seorang psikiater, penulis menangkap fenomena ini dan menyajikannya dalam bentuk naratif dengan bahasa yang ringan. Saya nyaris menerka goresan pena ini akan sangat berbobot dari segi bahasa menurut latar belakang sang penulis yang pernah menjadi wakil satu-satunya dari Indonesia di Academy of Psychosomatic Medicine dan The American Psychosomatic Society. Dimana keduanya merupakan organisasi psikosomatik** terkemuka di Amerika Serikat.

Ternyata ulasan dalam buku ini ditampilkan dalam bahasa yang renyah, siapa pun bisa melumat tuntas seluruh artikelnya dengan cepat. Isi yang terkandung dalam ‘Jangan Sebut Aku Gila’ inilah yang berbobot.

Berbobot lantaran mempunyai makna yang mendalam. Meski dengan latar belakang dan profesi  luar biasa yang diembannya, penulis tetap menempatkan potongan perasaannya ke dalam goresan pena dan tidak serta merta membubuhkan aneka macam teori ke dalam tiap artikel hingga saya merasa nyaman membaca. Tulisan yang mengena dan terasa manusiawi ini seolah sedang berdialog kepada saya untuk berbagi, misal pada masalah ‘busway’yang dibutuhkan mengurangi kemacetan, namun sayang yang terjadi  justru sebaliknya:

“Sudah tidak terhitung berapa banyaknya sumpah serapah dan helaan napas yang saya lakukan ketika menghadapi situasi jalanan Jakarta yang semakin usang semakin semrawut….Saya tersadar apa yang saya lakukan sia-sia. Sumpah serapah yang saya keluarkan juga tidak akan menciptakan jalanan yang saya lalui menjadi lancar.” (p. 33)
Saya juga menemukan permintaan penulis untuk melihat ironi dengan lebih dalam;
“Kita patut meratapi keadaan di negara kita di mana rasanya tidak ada daerah yang kondusif untuk bawah umur kita berkembang. Lihat saja duduk masalah peredaran VCD bahkan kini DVD porno yang demikian mudahnya kita bisa dapatkan di lapak-lapak penjual barang bajakan itu. … Penjual tersebut memajangnya berdampingan dengan DVD/VCD yang diperuntukkan untuk anak-anak” (p.105)
Dengan cara yang khas, dr.Andri merunut aneka macam insiden sebagai awal paragraf pada tiap tulisannya, dengan begini pembaca dibutuhkan dengan gampang bisa melihat situasi yang dihadirkan dan berpikir menuju ke arah sana. Dengan begini pula saya merasa penulis membangun interaksi dengan pembaca, bisa jadi ada pembaca yang menganggukkan kepala hanya lantaran mengenal situasi tersebut.

Pada goresan pena ‘Sisi Negatif Tayangan Sinetron Anak’, penulis mengawali kalimatnya dengan menyebutkan iklim sinetron Indonesia yang ramai, dari Ada Apa Dengan Cinta hingga bermunculan sinetron anak. Ragam sinetron anak inilah yang kemudian disoroti oleh penulis. Barulah di tamat goresan pena dr. Andri menunjukkan kesan, pesan dan opini yang ingin dibangun. Beberapa pesan-kesan masih berkaitan dengan latar belakang sang dokter, namun tak sedikit pula opini ini terasa lebih kental disalurkan oleh sesosok insan biasa berjulukan Andri. Bahkan, ada tamat yang terlepas dari itu semua, pembaca dibiarkan untuk merenungi tiap-tiap barisan katanya, meresapi makna yang digulirkan penulis dan bertindak sebagai interpretator.

Sentilan penulis pada tiap insiden juga sangat mengena namun dengan cara yang teramat halus. Di suatu artikel diceritakan perihal wanita yang mengeluhkan perihal dada dan perut mereka yang terlalu gemuk atau terlalu kecil, bagaimana wanita ini merasa tidak senang atas sesuatu yang mereka anggap kekurangan dan balasannya menjadikan gangguan gambaran tubuh. Gangguan yang kemudian berdampak pada keinginan untuk terus ‘memperbaiki’ seringkali menciptakan pasien tiba ke dokter bedah plastik. Hal ini seringnya tidak diimbangi dengan kerapnya berkunjung ke psikiater lebih dulu. Yang mana mungkin saja sesuai dengan artikel lainnya, bahwa berkunjung ke psikiater ialah hal tabu, bisa pula memalukan. Karena itu banyak yang menghindarinya.

Bagaimana dengan teori dan istilah asing yang muncul? Tentu saja ada.

Saya mendapati beberapa istilah menyerupai skizofrenia, psikosis, istilah untuk gangguan; bulimia nervosa dan anorexia nervosa, obsesif, disorder. Semua istilah ini dikenalkan pada para pembaca dengan cara yang nyaman, hingga tak perlu membuka kamus untuk mencari tahu. Termasuk dengan teori-teori yang dihadirkan. Bahkan menarik sekali, dr.Andri pun mengembangkan pengalamannya ketika berinteraksi dengan pasien, misal pada tulisan; Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa.

Secara keseluruhan ketika membaca buku ini, saya merasa bagai membaca sebuah blog. Dengan banyaknya ragam kisah, isu, tokoh, masalah yang dibawa penulis ke dalam buku tidak menjadikan buku ini berlepas dari akarnya. Seluruh tulisannya membawa kita pada lini tema yang sama, perihal kejiwaan. Tepat sesuai dengan bidang penulis yang telah lebih menulis 50 artikel perihal kesehatan jiwa di koran dan majalah ibukota serta menjadi pembicara di seminar awam dan ilmiah. Cara penyajiannya lah yang menciptakan buku’Jangan Sebut Aku Gila’ layak diapresiasi.

Semua goresan pena yang dimuat dalam buku ‘Jangan Sebut Aku Gila’ ini telah dimuat dalam Suara Pembaruan. Tulisannya yang pertama kali dimuat pada tahun 2006 menjadi awal dr.Andri menulis untuk tahun selanjutnya. Meski terkesan lampau, namun fenomenanya tetap menjadi gosip yang berkembang hingga kini atau istilah sekarang: kekinian untuk dibahas. Pada artikel “Kegiatan Paling Berguna; Membaca dan Menulis” saya akan mengutip paragraf awalnya;

“Saya sangat tertarik dengan goresan pena yang dimuat Suara Pembaruan Minggu edisi 29 Juni 2008 yang diberi judul ‘Dasarnya Memang Doyan Ngomong…' Tulisan tersebut bercerita perihal budaya ngobrol masyarakat kita yang semakin menjadi-jadi semenjak tarif bicara telepon seluler semakin murah.” (p.194)
Bila dicermati tahun insiden yaitu 2008 dan kita tidak lagi hidup pada tahun tersebut, namun fenomena masyarakatnya masih sama dengan sekarang;

“Sebagian masyarakat kita cenderung untuk lebih memakai indera penglihatannya untuk menonton televisi daripada membaca apalagi menulis.” (p.194)
Dengan demikian, harapan-harapan yang dibangun penulis untuk mengatasi problematika kehidupan sejatinya senantiasa bisa sama, apalagi semua ini berkaitan dengan kejiwaan. Tentang penerimaan, pengakuan, rasa syukur, berpikir positif.

“Peristiwa itu gotong royong bersifat netral. Baik buruknya ditentukan oleh kita sendiri.” (p.11)

Dan bagaimana perihal memaknai kehidupan? Lebih banyak lagi yang termuat dalam serpihan lima. Membaca buku ini memang bisa sangat terasa singkat, namun meresapinya butuh setiap saat.
***
____________________________________
** psikosomatik: a. 1. Berkaitan dengan jiwa dan raga; 2. Berhubungan dengan gangguan emosi

Salam,