Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Guru Apalah-Apalah: Part 2

Saya sedang duduk di kantor. Membaca beberapa materi pelajaran dan menyimak dialog rekan. Ada suatu tarikan dari luar, suaranya keras. Sreeet… sesuatu digeret. Rupanya sebuah kursi. Dan dingklik itu sempurna berhenti di muka saya. Seorang anak pribadi duduk diatasnya, tanpa basa-basi tanpa salam menghormati.

“Guru baru? Siapa namanya? Ngajar apa? Ngajar dimana lagi selain disini? Nanti ngajar juga nggak di kelasku? Aku XXX, Kelas XI.”

Saya sedang tidak ingin menjawab pertanyaannya yang sesungguhnya pertanyaannya lebih banyak dari yang saya tulis ini. Penampilan dan keberaniannya lebih menciptakan saya ‘tersaluti’. Wajahnya ceria tak bertampang bersalah, ada anting di satu telinganya. Dan saya tidak berniat menjawab pertanyaannya alasannya ialah saya tahu sebentar lagi dia bakal…
PLAK!
Jangan tanya ini bunyi apa, dan siapa yang melakukannya. Karena sudah terang kami berada di kantor guru. Dan tidak ada penyebutan kantor lagi selain ini. Ruang guru, ruang KepSek, BK, hingga toilet guru merupakan satu paket disini.

●●●
Sebenarnya tidak ada niat untuk menciptakan ini berseri. Bermain tarik ulur memori ibarat ini sesungguhnya kurang nyaman. Hanya saja saya kesulitan menuliskannya secara utuh, panjang namun sempurna sasaran penyampaian. Kesulitan alasannya ialah waktu ngeblog yang terbatas. Tapi yah, bisanya cuma begini. Satu ahad berada di Malang menciptakan saya kesulitan ngeblog. Tulisan DIY: Hiasan Kulit Bawang saya buat via mobile. Dan itu-nggak-enak-banget.

Meskipun saya mengawalinya di Hari Pertama, namun di bab ini cukup random.

Biar nggak bingung, baca dulu: HARI PERTAMA

Jadi intinya, kelas lain pun sebelas – duabelas, hehe. Sedikit beda dengan kelas X, alasannya ialah masih banyak anak baru. Sedikit.

Setelah bencana itu, para guru membuatkan kisah mereka.

“Anak sini memang gitu bu. Anggap saja disini bengkelnya.” Saya sering menerima petuah ibarat itu. Sejauh yang saya ingat, saya lebih banyak menyerapnya daripada protesnya. Biasa, masih baru.

Eh, tadi saya menyebut anting ya. Biar lebih menggigit, sini saya gambarkan seutuhnya.

Penampilan yang seadanya:


Kebanyakan dari mereka menggunakan anting. Ada yang satu ada yang dua. Ada yang cuma dijepit, ada yang benar-benar ditindik. Rambut pun berwarna-warni. Ada seorang murid yang saya ingat, yang saban berapa ahad gitu bisa gonta-ganti warna rambut. Yang paling frontal saya ingat warna hijau. Yang wanita ada juga tapi tidak seberapa. Soal berpakaian. Anak-anak ini berpenampilan seadanya dan sesederhana mungkin. Sesederhana. Seadanya. Kalau ada T-Shirt putih ya itu yang digunakan ke sekolah.

T-Shirt.

Ini bukan alasannya ialah mereka tidak punya baju sekolah. Mereka punya. Selain punya baju, mereka juga punya alasan. “Bajuku lembap pak yang itu,” misalnya. Atribut sekolah juga jarang dikenakan. Ada juga anak yang aib dengan sekolah ini, dan merasa nyaman dengan label sekolah mereka yang usang yang punya prestise dibanding sekolah ini. Jadi, ibarat itulah. Seadanya.

Berbahasa seadanya:

Kemampuan berbahasa pun apa adanya. Kita abaikan dulu kekasaran yang timbul. Kalau saya dipanggil situ, itu alasannya ialah kemampuan berbahasa belum dewasa ini standar. Atau di bawah standar apa ya nyebutnya?

Misalnya begini, “Dia kemana hari ini, kok telat masuk kelasku?”

Pemilihan kata dia (ini kata ganti untuk saya ini lho ya) lebih nyaman di pengecap ketimbang kata ‘beliau’. Dan jarang banget saya temukan anak yang menggunakan kata ‘saya’ untuk menyebut dirinya. Selalu aku. Faktor kebiasaan memang mendominasi. Ada beberapa hal yang saya cermati:
  • Dengan keberagaman suku di Balikpapan, bahasa yang ditimbulkan menjadi unik. Orang Balikpapan sering menambahkan partikel; nah, sih, gin, kan dan juga kata sudah dalam sebuah kalimat. Kira-kira begini:  “Makan sudah nah, capek saya nungguin piring kosongmu tu nah.”“Sabar nah, tambahin dulu gin ikannya. Kita ini kan gres datang. Ndak tau sih situ capeknya.”
    Kata kita ini sesungguhnya sering digunakan untuk menggantikan diri sendiri. Tapi, ada juga suku lain yang menggunakan kata Kita sebagai kata ganti untuk penyebutan anda, sampeyan.
  • Secara personal, saya orangnya kecil. Hmmm.. nggak tinggi maksudnya. Dan belum menikah. Jadi, persepsi ‘masih sepantaran mereka’ ini kental banget. Dan saya nggak membatasi panggilan dikala itu. Bahkan ada yang ingin memanggil mbak saja. Karena memang ada yang nyaris seumuran sama saya. Haha, jangan-jangan ada yang ngira umur saya dan mereka berapa ya bedanya? Dan ternyata memang ada yang beda cuma tiga tahun. Di kelas XII ada yang sudah berusia duapuluhan. Hehe.

  • Seperti saya bilang, faktor kebiasaan mendominasi kita berbahasa. Mau tidak mau saya sebutkan ada belum dewasa yang sempat terputus sekolahnya, atau tinggal di lingkungan Texas, yang tingkat bahasanya itu—ya—gitu-deh-lagi. 
    “Anj***!! >>teet sensor<< masuk lagi dia hari ini. Ada pelajaran dia kah hari ini? Aih, malesnya aku.” Hahaha. Dibawa ketawa dulu ya, biar nggak nyesek di hati. 
Fasilitas seadanya:

Fasilitas juga nggak kalah seadanya. Tidak banyak ornamen di kelas dan sarana-prasarana untuk mengajar. Dan jikalau pun ada sempat dirusak oleh anak-anak. Hal ini pernah bencana di tahun terakhir saya mengajar. Dengan kelas yang tidak sama. Ada tengkorak yang patah tulangnya, hingga susah sekali tuk bangkit dan lebih baik masuk lemari, botol-botol lab yang pecah dan, gangguan listrik, ah banyak deh.

Balik lagi ke tahun-tahun awal. Tentang yang seadanya ini. Ada satu hal yang fatal berdasarkan saya. Di sekolah ini hanya terdapat satu toilet. Yang tidak bisa digunakan untuk BAB. Hanya untuk BAK. Nah, ini fatal berdasarkan saya. Karena untuk mengeluarkan hajatnya belum dewasa harus ke kantor dulu (karena toiletnya kan satu paket ama kantor) atau izin keluar. Ini dia yang jadi masalah. Kalau sudah di luar, eng ing eng, iya jikalau balik. Setelah kembali pun aroma mereka udah macam-macam. Baca seri ini dulu ya, biar ngerti aroma apa. Hal yang sama pun terjadi pada kantin. Jadi, jikalau lapar ya… keluar. Lagi.

Iya, iya, saya yakin niscaya ada yang mikir, ini gurunya kemana?

Ketika berkumpul dengan rekan mengajar, kami sering sharing perihal kelakuan murid. Kalau saya bukan sharing, tapi cukup menyimak saja. Ada seorang guru yang dengan semangat bercerita, di tahun-tahun pedoman sebelumnya (yang katanya lebih parah dari tahun ini) dia pernah diancam murid. Karena guru ini tipikal yang blak-blakan dan keras dalam berbicara. Dalam ceritanya lagi, si murid pernah membawa segerombolan temannya mendatangi si guru. Wallahu’alam mau ngapain. Usut punya usut dendam si murid mau tak mau harus berakhir, alasannya ialah ternyata gerombolan temannya ini ialah juga mantan murid si guru. Cerita ini lebih banyak dan lebih berkembang lagi, dengan segala keunikan, keanehan, ketidakwajaran yang mewarnai pendengaran saya.

Guru-guru di sekolah ini tidak bisa dibilang tinggal membisu melihat kelakuan anak didiknya yang di luar aturan. Aturan bahkan dengan tegas dinyatakan dikala awal perjumpaan, tidak hanya bersama mereka namun juga bersama para wali murid. Setiap guru punya huruf yang berbeda, cara menangani murid yang berbeda. Dengan caranya itu, para guru tetap mengedepankan aturan.

Tiap kali ada yang melanggar tentu saja ditegur, diberi peringatan, diberi sanksi. Diulang lagi, ditegur lagi, hukuman lagi. Diulang lagi, diberi lagi hukuman, dibentuk beda hukumannya semoga tersentuh saraf insafnya, dinasehati pula. Diulang lagi, hingga lagi nasihatnya, untuknya, untuk walinya.

Begitulah, berulang kali. Entahlah, ada kalanya hukuman terlihat bagai sebuah berlian di mata mereka. Rasanya jikalau belum dieksekusi guru, belum gentle gitu. Saya juga tidak bisa menampik jikalau guru juga bisa kewalahan. Kuantitas dan kualitas guru memang masih kurang. Banyak guru yang nyambi ngajar di sekolah lain. Otomatis, ada yang tiba hanya untuk mengajar. Ada murid yang tidak masuk? Ya sudah, mangkir lah itu namanya. Mau mencari harus kemana? Orangtuanya dimana? Jangan salahkan guru yang ibarat ini, mereka juga punya sosok yang harus dinafkahi dan diurus di rumah.

Sementara guru-guru yang menetap jumlahnya sedikit. Seringkali harus keluar dan mengejar murid. Saya tidak pernah satu kali pun ikut. Namun tetap saja, jikalau terjadi momen yang begini, biasanya saya galau dan lelah hati. Ya, ini zaman apa sih, guru hingga ngejar-ngejar murid. Mencari ke tempat-tempat mangkal, tempat-tempat yang tidak layak dimasuki. Ke rumah kawan-kawan mereka. Kadang ditemukan, lebih seringnya tidak. Dan ada… ya ada, yang ketika nyaris tertangkap basah, justru melarikan diri sambil tertawa-tawa. Seolah menganggap pengejaran ibarat ini mengasyikkan.

Saya tahu kualitas guru harus diperbaiki. Apalagi saya, yang cuma guru apalah. Tapi, selain itu saya juga berpikir belum dewasa ini juga harus berubah. Tidak dengan hanya menitipkan perubahan mereka di tangan guru. Mereka ini manusia, bukan robot yang bisa diutak-atik seenaknya. Sementara susukan pengrusakan di sekitar generasi muda lebih kencang dan lebih sanggup diterima oleh mereka sendiri. Sementara lingkungan mereka pun sama mengkhawatirkannya. Dan nasehat orangtua hanya kabut tipis yang niscaya segera lenyap. Saya menyebutnya bagai bulat setan. Harusnya sih setiap sisi berbenah.

Seharusnya.

Saya kasih citra latar belakang yang tampaknya belum tuntas saya gambarkan. Banyak dari belum dewasa ini dulunya ikut kejar paket. Kaprikornus bukan sekolah ibarat umumnya. Ada yang pindahan dari sekolah lain alasannya ialah dikeluarkan. Kasusnya macam-macam. Ada yang tidak tinggal di kota ini, sehingga harus bolak-balik ke kampungnya. Kedengarannya sepele, tapi jikalau mereka capek ya mangkir deh sekolahnya. Termasuk yang broken home juga ada. Sekomplit-komplitnya gini masih ditambah dengan karakter-karakter unik mereka. Ada yang introvert abis ((abis)). Ada yang extrovert abis ((abis)). Anak Sekolah Menengan Atas karakternya ibarat anak TK. Dan saya suka gemes jikalau ada yang ngomong begini:

“Sabar bu. Maklumi aja bu. Namanya juga kita masih anak-anak.”

Anak-anak? Anak-anak apa yang sudah bisa bikin anak?!

Ini sih udah bukan belum dewasa lagi. Calon bapak-mamak semua.

Meski begitu, sesungguhnya saya jarang murka kok. Jarang banget. Kesel iya, sedih, galau. Saya tipikal yang masih bisa diajak becanda kok. Dan bisa juga kekanakan. Semisal, ada yang salah kemudian saya beri teguran dan diabaikan, itu nggak persoalan buat saya, nggak bikin marah. Saya juga pernah memberi teguran, kemudian si anak cuma ngeliatin saya dari ujung kepala hingga ujung kaki, diulang-ulang, terus dia mendengus sambil bilang “hah!”dan pergi begitu aja. Itu pernah saya alami. Nggak, saya nggak murka jikalau cuma begini. Dibawa ketawa aja biasanya :D

Tapi, saya bisa murka jikalau ada yang bertindak –hmm kata apa ya yang yummy nyebutnya, porno?cabul? Hedeh, pokoknya itu deh. Kalau di kelas ada yang lagi pegang-pegangan, elus-elusan, jambak-jambakan, pangku-pangkuan *idih* perjaka ama cewek. Wah, terang es mosi jiwa rasanya.

Atau suatu hari, ketika selesai menunjukkan materi, bel istirahat berbunyi dan belum dewasa berlarian keluar. Sementara saya gres selesai berbenah, seorang murid muncul dan mendorong saya menuju pintu. Sambil bercanda, dia berkata ayo kita istirahat bu dan apalagi gitu... saya lupa. Iya, saya lupa dan nggak fokus dia ngomong apa, yang saya pikirkan dan kemudian saya tepis ialah tangannya yang menyentuh punggung. Gila! Bukan apa-apa ya di punggungnya itu pas banget di tali bra. Terserah deh mau becanda atau apa. Tapi, ya nggak gitu lah.

Persoalan begini pun, mau dilaporin juga gimana. Meski rekan-rekan guru akan mendukung saya. Karena ujung-ujungnya niscaya dianggap cuma pikiran dan perasaan saya pribadi. Guru harus mengerti murid. Muridnya mungkin nggak sengaja. Mungkin cuma kekesalan guru pribadi. Ya, salah juga kenapa mau jadi guru. Dan hal-hal lain yang mesti saya toleransi sendiri.

Jadi, biarlah saya tulis disini saja, hehehe.

Apa semua murid ibarat itu?

Tentu tidak. Banyak kok yang baik. Baik banget. Ada juga yang punya prestasi. Ada yang hingga hari ini masih berteman dengan saya. Ada kok. Dan ada juga yang menjadi guru. Sumpah, saya sempat kaget. Karena anak ini populer nakal. Tapi, itu masa lalunya. Ujung-ujungnya kini dia mulai menghargai profesi guru.

Oya, anak yang nyeret dingklik itu sesungguhnya di tingkat XII, sudah lebih kalem dari sebelumnya. Dia sudah bisa mengetuk pintu kantor dan mengucapkan salam. Dan sangat santun ketika menyapa saya.

Yah, begitulah. Mengajar itu seni, dan setahu saya melahirkan karya seni bukan proses yang mudah.

Btw, tidak terasa ini udah lebih dari 1.800 kata, kasian aja jikalau kepanjangan lagi.

Disambung lagi aja yah. Ssst ... ceritanya masih ada yang seru kok 
 :D :D. Ada yang mau tahu nggak jikalau di kelas saya ngapain aja. Nggak ada ya?

Yah, pokoknya tahu-nggak-mau tetap saya tulis deh. *Maksa*